AMP - Menjelang Pilkada 2017, sejumlah Mahasiswa Aceh terjebak dengan politik praktis, keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis menjadi perdebatan di medsos bahkan jejaring sosial. Satu
pihak berpendapat mahasiswa harus apolitis karena tugasnya adalah
belajar dan jika terjun ke politik praktis dikhawatirkan memengaruhi
prestasi belajar mereka.
Argumentasi lain adalah mahasiswa sebagaimana
dosen harus netral karena keterlibatannya akan mengganggu netralitas kampus.
Kampus
harus steril dari politik praktis yang cenderung hanya berurusan dengan
perebutan kekuasaan. Keterlibatan masyarakat kampus dalam politik
praktis dinilai akan mencederai posisi kampus sebagai penjaga moral yang
lebih mengedepankan pendekatan objektif dalam menghadapi persoalan.
Berkurangnya
peran dan aktivitas masyarakat kampus, khususnya mahasiswa, dalam
politik praktis sangat erat kaitannya dengan pemberlakukan NKK/BKK pada
akhir tahun 70-an. Sejak saat itu, kampus secara kelembagaan sepi dari aktivitas politik praktis. Keadaan berubah sesudah reformasi, dosennya beramai-ramai menghiasi dunia politik tanah air.
Sementara yaitu mahasiswa, kelihatan tidak terlalu banyak jumlahnya yang terjun langsung ke pentas politik praktis. Tidak
jelas penyebabnya apakah karena terlalu sibuk urusan akademik, malu
karena memandang kehidupan politik praktis tidak sejalan idealisme
kampus, atau karena tidak ada akses untuk masuk.
Namun,
walaupun para mahasiswa tidak terjun langsung ke arena politik praktis,
aktivitas di organisasi kemahasiswaan cenderung menggunakan cara-cara
politik praktis dan tindakannya mirip seperti para politisi sungguhan.
Bahkan untuk organisasi mahasiswa di kampus, struktur organisasinya
meniru dan menyerupai struktur organisasi pemerintahan dengan jabatan
mulai dari presiden, wakil presiden, menteri kabinet, sampai gubernur.
Mekanisme pemilihannya juga persis seperti di pemerintahan. Baik untuk lembaga eksekutifnya maupun lembaga legislatifnya ditentukan melalui pemilihan umum dengan peserta Pemilu yang terdiri dari partai-partai.
Sementara
itu, banyak kegiatan mahasiswa yang tidak jauh dari persoalan
kekuasaan, persoalan kebangsaan, kerakyatan, kenegaraan, kebijakan
pemerintah, dan pembangunan yang semuanya tidak jauh urusan politik.
Hanya saja ide, saran, kritik, dan suara mahasiswa ini hanya bisa
dilakukan di luar koridor resmi. Yang paling sering disuarakan melalui unjuk rasa, sehingga muncul julukan “parlemen jalanan” kepada gerakan mahasiswa.
Hal tersebut menjadi tanda tanya publik ketika mereka mendukung salah satu calon kandidat untuk menuju orang nomor satu di Aceh, seperti halnya dalam beberapa hari ini muncul pemberitaan bahwa mahasiswa se-Aceh mendukung Muzakir Manaf sebagai Calon Gubernur Aceh 2017.
Mungkin saja hanya beberapa mahasiswa yang kampusnya berdekatan dengan pusat kota Aceh yaitu banda Aceh, walau pemberitaannya agak lebay sedikit.
Kritikan bagi mahasiswa tersebut terjadi dimedsos jejaringan sosial Facebook, diantaranya
Hana di belajar tapi di jak mita status sagai, male mahasiswa laen , seharusnya mereka belajar dulu, politik jg dipelajari tapi bkn terlibat praktis,,,,,hana peunutoh bak gure....
Mahasiswa berasal dari masyarakat dan harus membawa perubahan yang baik dan berwibawa serta pembangunan SDM, bukan malah mendukung partai-partai politik yang hanya bersifat sesaat ....itu justru merusak Citra mahasiswa pada umumnya.ujar seorang pengkritik di Fb
Dan juga banyak kritikan yang lain, bahkan ada yang menganggap mahasiswa tersebut bergabung ke Rakan Mualem karena faktor uang.
Apakah ini yang dinamakan politik praktis yang menjadikan agent perubahan sebagai alat kampanye politik Mualem 2017 nantinya?..
hanya mereka yang lagi mencari gelar sarjana yang menjawabnya.
Editor: Rakan Uereung Pungoe
loading...
Post a Comment