AMP - Panta Rei Ouden Menei. Semuanya mengalir dan berputar. Demikian pula
Sriwijaya. Kerajaan besar Budha yang berpusat di selatan Sumatera ini
pada akhir abad ke-14 M mulai memasuki masa suram. Invasi Majapahit
(1377) atas Sriwijaya mempercepat kematiannya. Satu persatu
daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya mulai lepas dan menjadi daerah otonom
atau bergabung dengan yang lain. Raja, adipati, atau penguasa setempat
yang telah memeluk Islam lalu mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil.
Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera bergabung menjadi Kerajaan
Aceh Darussalam.
Di
Eropa, akibat Perang Salib yang berlarut dan persinggungannya dengan
para pedagang Islam, orang Eropa mulai mencari emas, rempah-rempah,
kain, dan segala macam barang ke dunia lain yang selama ini belum pernah
dijangkaunya. Kaum Frankish mendengar adanya suatu dunia baru di
selatan yang sangat kaya.
Pada
1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan
Katolik Portugis dan Spanyol. Mandat ini dikenal sebagai Perjanjian
Tordesillas1 yang membagi dua dunia selatan untuk dieksplorasi sekaligus
target penyebaran agama Kristen, satu untuk Portugis dan yang lainnya
untuk Spanyol.
Menyaksikan
Portugis dan Spanyol sukses dalam ekspedisinya, bangsa-bangsa Eropa
lainnya tertarik untuk mengekor. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian
juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan
dunia baru yang kaya-raya. Misi kerajaan-kerajaan Eropa ini sampai
sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel.
Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dijajah,
Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama
Kristen.
Sejarahwan
Belanda J. Wils mencatat jika pendirian pos-pos misionaris awal di
Nusantara selalu mengikuti gerak maju armada Portugis-Spanyol, “…pos-pos
misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan
dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang
kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511,
perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ
selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa
(1584-1599).”
Kesultanan Aceh Darussalam
Peran
Sriwijaya digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal dari
penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam
Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan
Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun
akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang
telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya,
Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan
sendirinya merasa terancam armada Salib Portugis.
Istana Daruddunya Kesultanan Aceh Darussalam - Lukisan Karya Sayed Dahlan al-Habsyi |
A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis,
“Untuk mencapai nafsu jahatnya, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”3
Strategi
licik Portugis ini dikemudian hari dicontoh Snouck Hurgronje.
Akibatnya, Portugis, menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16
telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di
wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang
dengan penjagaan ketat sejumlah pasukan.
Perkembangan
yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang
Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera
mahkota Kerajaan Aceh ini yakin jika Portugis pasti akan menyerang
kerajaannya. Mughayat Syah memaparkan hal ini kepada Sultan Alaiddin
Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan sadar, untuk menghadapi Portugis,
maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, cekatan, dan
cakap. Akhirnya Sultan Alaiddin Syamsu Syah segera melantik anaknya
sebagai penggantinya. Ali Mughayat Syah pun menjadi raja baru dengan
gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.
Sultan yang baru ini memandang, untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan pantai utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai, seluruh kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu harus bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat. Maka begitu jadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal saat itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal. Lewat peperangan yang gigih akhirnya laskar Islam ini berhasil menghalau Portugis bersama para sekutu lokalnya.
Berhasil
mengusir Portugis, Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh
Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang) berwarna
dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah
pedang yang melintang di bawah berwarna putih. Sultan yang hebat ini
menemui Sang Khaliq pada 12 Dzulhijah 936 H (Sabtu, 6 Agustus 1530).
Bersatu Dengan Kekhalifahan Turki Utsmani
Diikat
kesatuan akidah yang kuat, Aceh Darusalam mengikatkan diri dengan
kekhalifahan Islam Turki Ustmaniyah. Sebuah arsip Utsmani berisi petisi
Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang
dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani
di Turki sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi
laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak
kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh
dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh
dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebab itu,
Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk
mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi
(Portugis).
Al-Fatih Bersama Pasukan Turkey Utsmani |
Sultan
Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang
segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer
ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez,
Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah
ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh
Sultan diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan
Aceh.5 Walau berangkat dalam jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya
sebagiannya saja, karena di tengah perjalanan, sebagian armada Turki
dialihkan ke Yaman guna memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571
M.6
Di
Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh
menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali)
Nanggroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan
di wilayah tersebut.7 Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang
(1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun seluruhnya ahli dalam
seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak
jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh
menyerang Portugis di pusatnya, Malaka.
Agar
aman dari gangguan perompak, Turki Ustmani juga mengizinkan kapal-kapal
Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya. Laksamana Turki
untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap
pergerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil pantauannya
itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul,
Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai
berikut:
“(Portugis)
juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah
(Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana
(Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka
yang berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita
sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran
total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa
menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang
bersatu.”
Namun
Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata,
“Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk
menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”.
Futuhat Pedalaman Sumatera
Sultan
Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad untuk
membebaskan pedalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan pasukan
Turki, Arab, Malabar, dan Abesinia, Aceh masuk ke pedalaman Sumatera.
Sekitar 160 mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malabar menjadi tulang
punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh
dengan Batak, melaporkan komandan pasukan seorang Turki bernama Hamid
Khan, keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas
Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini
merupakan bentuk nyata ukhuwah Islamiyah antar umat Islam yang
memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara
Salib di wilayah sekitar Aceh.
Turki
Utsmani bahkan diizinkan membangun satu akademi militer, “Askeri Beytul
Mukaddes” yang di lidah orang Aceh menjadi “Askar Baitul Makdis” di
wilayah Aceh. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian
hari melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan
keuletan tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam
dalam goresan tinta emas.11pasukan turki utsmani
Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul Bustanul Salathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.12 Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.
Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul Bustanul Salathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.12 Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.
Dalam
peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal
perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran
besar. Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran
500 sampai 2000 ton. Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi
meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang
penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di
seluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang
besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan
penuh dari armada perang Turki Utsmani dengan segenap peralatan
perangnya.
Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai
masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil, terdiri
dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah
berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini
kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, dua belas
penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi
Kekhalifahan Utsmaniyah yang menegaskan bahwa antara kedua Negara
tersebut merupakan satu keluarga dalam Islam. Kedua belas pakar militer
itu diterima dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan
Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat,
dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi
bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam
membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.
Dampak
keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di
Samudera Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu
mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tengg
ara ke Mekkah; memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara
India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan
juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika
dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke Cina. Kesinambungan
jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui
Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan14.
Dan Bukan Hanya Aceh
Selain
Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersekutu dengan
kekhalifahan Turki Utsmaniyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi
Selatan. Salah satu Sultan Buton, Lakilaponto, dilantik menjadi ‘sultan’
dengan gelar Qaim ad-Din yang memiliki arti “penegak agama”, yang
dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Mekkah. Sejak itu, Sultan
Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar ‘sultan’ ini
terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang
menyebutkan dari penguasa Mekkah).
Jika
kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber
Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian
dari kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan sekadar
hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan
diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan iman dan ukhuwah Islamiyah.
Jika satu negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan
membantu tanpa pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka pada saudara
seimannya. Bukan tidak mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyah” inilah yang
kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat-Kristen (Christendom) di
abad-20 ini dalam bentuk kerjasama militer (NATO, North Atlantic Treaty
Organization), dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya seperti Uni-Eropa,
Commonwealth, G-7, dan sebagainya.
Qanun Meukuta alam
Salah
satu keunggulan lain dari Kesultanan Aceh Darussalam adalah konstitusi
negara yang disebut Qanun Meukuta Alam yang bersumberkan dari Qur’an dan
hadits, yang sangat lengkap dan rinci. Kesultanan Brunei Darussalam
merupakan salah satu kesultanan yang mengadopsi hukum ini dari Aceh.
Salah
satu yang diatur adalah perayaan hari besar agama Islam. Di akhir bulan
Sya’ban, misalnya, ketika shalat tarawih akan diadakan untuk pertama
kalinya, maka di halaman Masjid Raya Baiturahman, raja memerintahkan
agar dipasang meriam 21 kali pada pukul lima lebih sedikit. Tiap 1
Syawal, pukul lima pagi setelah sholat Subuh, juga dipasang meriam 21
kali sebagai tanda Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Haji pun demikian.
Setiap hari besar Islam, kerajaan mengadakan acara yang semarak yang
sering dikunjungi oleh tamu-tamu agung dari negeri lain.
Kebesaran
Aceh diakui dunia internasional. Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in
Modern History, kelima besar Islam dunia saat itu adalah: Kekhalifahan
Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan
Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur
Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua
India yang berpusat di Acra, dan yang kelima adalah Kerajaan Aceh
Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.
Sumber: mehrir.kawunganten.com
loading...
Post a Comment