KISAH Din Minimi kembali mencuat. Dan kisahnya menginspirasi banyak orang. Berbagai pihak menunggangi. Berbagai pihak mencantol selebritas Din Minimi. Banyak orang ingin mengambil manfaat dengan berbagai cara. Akankah ini segera berakhir? Siapa yang akan mengakhirinya?
Kelompok bersenjata ini memang meresahkan. Namun, kita juga melihat ada akting di balik semua ini. Bahwa apa yang dituntut Din Minimi terlalu naif untuk menjadi alasan jatuhnya banyak korban.
Begitu juga lakon para elite yang juga terkesan ingin sekadar numpang tenar. Para pencuri kecil kemudian juga menebar ancaman untuk berbagai pihak. Menjual nama Din Minimi untuk meraup recehan rupiah.
"Kapai karam buya troe". Nama Din Minimi menjadi jaminan banyak hal saat ini. Walaupun berkonotasi negatif. Namun, banyak pihak mengambil manfaat.
Sebaliknya, Gubernur Aceh yang terkesan ngotot. Beliau tidak mau peduli terhadap aksi Din Minimi. Beberapa pernyataan beliau terkesan tidak sedikit pun mau ambil peran. Dia menyerahkan sepenuhnya penanganan Din Minimi ke penegak hukum. Beliau turut mengomentari kasus ini, tetapi menolak bernegosiasi, walau Din Minimi amat berharap.
Agak aneh memang ketika keduanya "bersilat lidah". Din dengan segala akting lugunya. Gubernur dengan keangkuhannya. Gubernur juga cenderung melihat negatif dalam kasus ini. Padahal, bila dipikir-pikir, apa salahnya memberi kesempatan, walaupun mungkin beliau yakin kelompok ini ada yang menunggangi.
Sebenarnya, bila beliau lebih arif, mungkin penyelesaiannya akan lebih mudah. Tentu saja dengan tidak mengenyampingkan hukum.
Seburuk-buruknya Din Minimi, dia adalah warga Aceh. Mana tahu apa yang diucapkannya memang niat hatinya. Dan bila benar dia menyerah jika dibujuk Gubernur. Kalau ini terjadi minimal kelompok ini akan berhenti menenteng senjata. Tentu keuntungannya adalah nama baik Gubernur dan Aceh.
Toh sekeras apapun pelanggaran hukum dilakukan seseorang atau kelompok, cara penyelesaian persuasif tetap diutamakan. Konon lagi di Aceh sebagai bekas konflik. Makanya ceukang-nya Gubernur amat patut kita sesalkan. Beliau terlalu menyederhanakan masalah. Mengabaikan hal-hal baik dalam menyelesaikan pelanggaran hukum. Toh semua ini demi nama baik beliau. Apa sih susahnya membuka ruang dialog? Bila pun gagal tidak ada ruginya bagi beliau.
Kita amat yakin rakyat pasti mendukung beliau untuk membujuk Din Minimi. Sebab semakin lama Din Minimi berkeliaran, makin banyak diliput media. Kian tenar kelompok ini, semakin memberi ruang bagi pihak antidamai untuk menunggangi kelompok ini. Kasus ini akan digoreng terus sebagai kegiatan kontra intelijen untuk menambah citra buruk Aceh.
Apa yang disampaikan Gubernur kemarin adalah kenaifan. Konon, bila analoginya seperti orang buta warna. Beliau bertekad membangun Aceh. Menyelesaikan tugas-tugas masa jabatan beliau. Pertanyaannya, apakah menghentikan kriminalitas seperti Din Minimi bukan tugasnya? Kalau memang ini murni tugas polisi, kenapa tidak operasi militer saja sekalian? Apakah beliau bisa sukses membangun bila tanpa mempertimbangkan situasi keamanan? Apa beliau tidak tahu Din Minimi sedang "berjualan?"
Semakin besar sikap tidak acuh Gubernur untuk berdialog, makin besar pengaruh aktor intelektual di balik kelompok ini. Diakui atau tidak, kenyataannya kelompok ini kian eksis. Sayangnya semakin lama Gubernur membuka front. Makin memperbanyak amunisi bagi kelompok ini. Padahal, bila Gubernur turun tangan, sementara kelompok ini masih melakukan tindak kriminal, maka mereka sendirinya akan dimusuhi oleh masyarakat.
Namun, bila dialog dibuka, ternyata Din Minimi cs tidak komit, maka semakin membuka mata publik bahwa ada aktor intelektual di balik sepak terjangnya selama ini.
Kita imbau Gubernur agar "sipat ate ngon ate". Bukankah beliau juga pernah menjadi musuh negara seperti juga Din Minimi saat ini? Siapa yang menjamin kelompok ini tidak mendapat tempat bagi kaum "khawarij" perdamaian. Siapa yang menjamin kelompok ini tidak membesar di kemudian hari.
Masih ingat kasus munculnya kelompok sempalan MNLF di Mindanau atau munculnya kelompok Abu Sayaf dan komandan robot. Kehadiran mereka memaksa Amerika harus turun tangan menumpasnya. Lantas, bagaimana nasib MNLF pimpinan Nur Misuari saat ini?
Kita tidak mau hal yang sama terjadi di Aceh. Makanya Gubernur jangan melupakan sekecil apapun potensi gangguan. Beliau harus lebih arif melihat persoalan. Agar beliau sukses. Kita rakyat juga senang. Sebab semua pihak berperan membuat Aceh sukses. Seperti pepatah "simat taloe, sipeh bajoe, sidong keudroe". Tidak ada satu komponen pun boleh dilupakan, bahkan si kriminal sekali pun. Sebab tindakan mereka begitu, juga salahnya pada pengelola negara. Ingat itu! []
Kelompok bersenjata ini memang meresahkan. Namun, kita juga melihat ada akting di balik semua ini. Bahwa apa yang dituntut Din Minimi terlalu naif untuk menjadi alasan jatuhnya banyak korban.
Begitu juga lakon para elite yang juga terkesan ingin sekadar numpang tenar. Para pencuri kecil kemudian juga menebar ancaman untuk berbagai pihak. Menjual nama Din Minimi untuk meraup recehan rupiah.
"Kapai karam buya troe". Nama Din Minimi menjadi jaminan banyak hal saat ini. Walaupun berkonotasi negatif. Namun, banyak pihak mengambil manfaat.
Sebaliknya, Gubernur Aceh yang terkesan ngotot. Beliau tidak mau peduli terhadap aksi Din Minimi. Beberapa pernyataan beliau terkesan tidak sedikit pun mau ambil peran. Dia menyerahkan sepenuhnya penanganan Din Minimi ke penegak hukum. Beliau turut mengomentari kasus ini, tetapi menolak bernegosiasi, walau Din Minimi amat berharap.
Agak aneh memang ketika keduanya "bersilat lidah". Din dengan segala akting lugunya. Gubernur dengan keangkuhannya. Gubernur juga cenderung melihat negatif dalam kasus ini. Padahal, bila dipikir-pikir, apa salahnya memberi kesempatan, walaupun mungkin beliau yakin kelompok ini ada yang menunggangi.
Sebenarnya, bila beliau lebih arif, mungkin penyelesaiannya akan lebih mudah. Tentu saja dengan tidak mengenyampingkan hukum.
Seburuk-buruknya Din Minimi, dia adalah warga Aceh. Mana tahu apa yang diucapkannya memang niat hatinya. Dan bila benar dia menyerah jika dibujuk Gubernur. Kalau ini terjadi minimal kelompok ini akan berhenti menenteng senjata. Tentu keuntungannya adalah nama baik Gubernur dan Aceh.
Toh sekeras apapun pelanggaran hukum dilakukan seseorang atau kelompok, cara penyelesaian persuasif tetap diutamakan. Konon lagi di Aceh sebagai bekas konflik. Makanya ceukang-nya Gubernur amat patut kita sesalkan. Beliau terlalu menyederhanakan masalah. Mengabaikan hal-hal baik dalam menyelesaikan pelanggaran hukum. Toh semua ini demi nama baik beliau. Apa sih susahnya membuka ruang dialog? Bila pun gagal tidak ada ruginya bagi beliau.
Kita amat yakin rakyat pasti mendukung beliau untuk membujuk Din Minimi. Sebab semakin lama Din Minimi berkeliaran, makin banyak diliput media. Kian tenar kelompok ini, semakin memberi ruang bagi pihak antidamai untuk menunggangi kelompok ini. Kasus ini akan digoreng terus sebagai kegiatan kontra intelijen untuk menambah citra buruk Aceh.
Apa yang disampaikan Gubernur kemarin adalah kenaifan. Konon, bila analoginya seperti orang buta warna. Beliau bertekad membangun Aceh. Menyelesaikan tugas-tugas masa jabatan beliau. Pertanyaannya, apakah menghentikan kriminalitas seperti Din Minimi bukan tugasnya? Kalau memang ini murni tugas polisi, kenapa tidak operasi militer saja sekalian? Apakah beliau bisa sukses membangun bila tanpa mempertimbangkan situasi keamanan? Apa beliau tidak tahu Din Minimi sedang "berjualan?"
Semakin besar sikap tidak acuh Gubernur untuk berdialog, makin besar pengaruh aktor intelektual di balik kelompok ini. Diakui atau tidak, kenyataannya kelompok ini kian eksis. Sayangnya semakin lama Gubernur membuka front. Makin memperbanyak amunisi bagi kelompok ini. Padahal, bila Gubernur turun tangan, sementara kelompok ini masih melakukan tindak kriminal, maka mereka sendirinya akan dimusuhi oleh masyarakat.
Namun, bila dialog dibuka, ternyata Din Minimi cs tidak komit, maka semakin membuka mata publik bahwa ada aktor intelektual di balik sepak terjangnya selama ini.
Kita imbau Gubernur agar "sipat ate ngon ate". Bukankah beliau juga pernah menjadi musuh negara seperti juga Din Minimi saat ini? Siapa yang menjamin kelompok ini tidak mendapat tempat bagi kaum "khawarij" perdamaian. Siapa yang menjamin kelompok ini tidak membesar di kemudian hari.
Masih ingat kasus munculnya kelompok sempalan MNLF di Mindanau atau munculnya kelompok Abu Sayaf dan komandan robot. Kehadiran mereka memaksa Amerika harus turun tangan menumpasnya. Lantas, bagaimana nasib MNLF pimpinan Nur Misuari saat ini?
Kita tidak mau hal yang sama terjadi di Aceh. Makanya Gubernur jangan melupakan sekecil apapun potensi gangguan. Beliau harus lebih arif melihat persoalan. Agar beliau sukses. Kita rakyat juga senang. Sebab semua pihak berperan membuat Aceh sukses. Seperti pepatah "simat taloe, sipeh bajoe, sidong keudroe". Tidak ada satu komponen pun boleh dilupakan, bahkan si kriminal sekali pun. Sebab tindakan mereka begitu, juga salahnya pada pengelola negara. Ingat itu! []
Sumber: portalsatu.com
loading...
Post a Comment