Halloween Costume ideas 2015
loading...

Ini Peristiwa ASNLF dan RI Saling Bantah Di Forum PBB

Ketua Delegasi ASNLF Asnawi Ali saat membacakan pernyataan di depan forum PBB dan ditayangkan melalui saluran UN WEB TV. (foto:Ist)
AMP - Empat delegasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang terdiri dari Asnawi Ali (kepala delegasi), Yusril Abdullah dan dua dari generasi muda Yusri Taleb dan Imran Abdurrauf  menghadiri Sidang PBB Urusan Minoritas yang ke 8 yang berakhir Kamis lalu (25/11).  Dalam acara tersebut delegasi ASNLF diberikan dua kesempatan berpidato di depan sejumlah perwakilan negara dan bangsa-bangsa minoritas di dunia.

Setiap delegasi hanya bisa berbicara satu kali saja, anggota delegasi ASNLF dari generasi muda Imran Abdurrauf, putra Syahbuddin A.R, membaca pernyataan atas nama organisasi Swedish Achehnese Association – Persatuan Masyarakat Aceh di Swedia, sementara Asnawi Ali resmi mewakili ASNLF atau Aceh Merdeka.

Forum Hak-hak Asasi Manusia Urusan Minoritas ini yang bersidang dua hari penuh dibuka pada Selasa (24/11) dengan fokus ”Minoritas dalam Sistem Peradilan Pidana” di ruang eksklusif XX gedung PBB, Jenewa, Swiss.  Para perwakilan negara, pakar-pakar PBB dan kira-kira 100 LSM termasuk kaum minoritas,  dari seluruh dunia yang mendapat kesempatan untuk berbicara, berkumpul di Palais des Nations, Jenewa, untuk membahas tentang perlakuan negara terhadap kaum minoritas dalam sistem peradilan pidana.

Sesuai dengan rekomendasi dan ketetapan Sidang, kedua pembicara ASNLF memfokuskan pidatonya tentang peran polisi dalam menjalankan hukum dan tantangan-tantangan yang dihadapi minoritas di seluruh Indonesia, khususnya di Aceh.  Selanjutnya kedua pembicara ASNLF memaparkan dengan singkat faktor-faktor nyata yang telah membuat hukum tidak bisa ditegakkan di Indonesia dan kekerasan serta pelanggaran HAM tidak bisa dihentikan.

Menurut ASNLF, ada tiga faktor yang telah membuat Indonesia gagal sebagai sebuah negara: Kekebalan hukum (impunitas), korupsi dan budaya sogok menyogok.  Asnawi Ali dengan lantang menunjukkan bahwa penegakan hukum dan impunitas merupakan tantangan paling berat untuk Indonesia. Kekebalan hukum terhadap pelanggar HAM berat yang telah membunuh, menyiksa dan ”menghilangkan” ribuan rakyat Aceh selama tiga dekade konflik yang tidak pernah diadili, apa lagi dihukum.

Delegasi ASNLF dalam acara forum kaum minoritas di Jenewa, Swiss 24-25 November 2015 adalah warga negara Swedia keturunan Aceh. Dari kiri, Imran Syahbuddin, Yusri Taleb, Asnawi Ali dan Yusril Abdullah. [Foto:
Istimewa]
Meski sudah memasuki kurun waktu sepuluh tahun pasca konflik, pejabat Indonesia tidak pernah menunjukkan niat baiknya untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan kemanusiaan di masa konflik. Sebaliknya, Indonesia malah masih menganggap Aceh sebagai sebuah ancaman keutuhan wilayah NKRI (But despite the deal, the authorities have shown no interest in addressing past crimes…Ten years on, Acheh is still regarded as a potential threat to Indonesia’s territorial integrity. The greatest challenges minorities are facing in Indonesia is law enforcement and impunity. Those responsible for the thousands of killings, torture and disappearances have never been prosecuted or punished.)

Sementara itu Imran Abdurrauf menekankan tentang korupsi yang sudah sangat membudaya di Indonesia dan menuding kepolisian  merupakan salah satu institusi yang paling korup di Indonesia. Perkara-perkara yang berkaitan dengan sogok-sogokan menimpa berbagai lapisan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, dll. (”As corruption is rampant, police has become one of the most corrupt institutions in Indonesia. Problems related with bribery are everywhere, whether it be with police, judges, prosecutors etc. Indonesians have this culture when it comes to their dealings with the law”). Dia juga sangat menyayangkan bahwa penegak hukum di Indonesia, contohnya polisi, kadang-kadang dalam waktu yang sama juga sebagai pelanggar hukum alias kriminal (”.…the forces that should prevent human rights abuses are at the same time the perpetrators themselves – the police, for example, is at the same time the criminal”)

Pada akhir hari kedua Sidang, wakil delegasi tetap RI untuk PBB di Jenewa Caka A Awal  memberikan argumentasi bahwa untuk memberantas korupsi Indonesia telah mempunyai mekanisme sendiri seperti adanya badan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),  dan penegakan hukum berjalan lancar sebagaimana perundang undangan yang berlaku  ”Setiap ada masalah hukum langsung ditanganinya dengan secepatnya”, ungkap Caka.

Menanggapi jawaban pihak Indonesia atas tudingan ASNLF, Asnawi Ali mengatakan bahwa “itu  merupakan jawaban normatif yang hampir sama setiap tahun kami dengar. Sedangkan penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM selama konflik bersenjata dan sesudahnya di Aceh, tidak pernah ditindak lanjuti”katanya.

Ditambahkan “Dibalik semua itu kehadiran ASNLF dalam forum ini telah menambahkan beban “batin” kepada Indonesia. Mereka (Indonesia-red) tidak bisa lagi menipu masyarakat internasional bahwa keadaan di Aceh baik-baik saja dan persoalan Aceh sudah selesai dengan adanya MoU Helsinki.

Menurut Asnawi yang lebih mencengangkan Indonesia kali ini adalah keberhasilan ASNLF memasukkan secara resmi dua delegasinya yang paling muda ke dalam forum Internasional ini,  Ini juga membuktikan bahwa ASNLF telah berhasil membina dan mempersiapkan kadernya untuk perjuangan yang masih panjang ini.

Pada kesempatan wawancara langsung dengan Asnawi Ali dirinya  mewakili ASNLF menyampaikan Terima kasih kepada UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization) yang telah mendidik generasi muda ASNLF untuk menjadi diplomat-diplomat tangguh di kemudian hari dalam membela dan mempertahankan bangsa dan negerinya. (Jurnalatjeh)

Catatan : Redaksi jurnalatjeh.com dan jurnalatjeh TV juga menerima  pernyataan resmi dalam website UNPO dan  rekaman video yang diambil langsung dari UN website TV.
loading...

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget