Ketua Delegasi ASNLF Asnawi Ali saat membacakan pernyataan di depan forum PBB dan ditayangkan melalui saluran UN WEB TV. (foto:Ist)
|
Setiap delegasi hanya bisa berbicara
satu kali saja, anggota delegasi ASNLF dari generasi muda Imran
Abdurrauf, putra Syahbuddin A.R, membaca pernyataan atas nama
organisasi Swedish Achehnese Association – Persatuan Masyarakat Aceh di Swedia, sementara Asnawi Ali resmi mewakili ASNLF atau Aceh Merdeka.
Forum Hak-hak Asasi Manusia Urusan
Minoritas ini yang bersidang dua hari penuh dibuka pada Selasa (24/11)
dengan fokus ”Minoritas dalam Sistem Peradilan Pidana” di ruang
eksklusif XX gedung PBB, Jenewa, Swiss. Para perwakilan negara,
pakar-pakar PBB dan kira-kira 100 LSM termasuk kaum minoritas, dari
seluruh dunia yang mendapat kesempatan untuk berbicara, berkumpul di
Palais des Nations, Jenewa, untuk membahas tentang perlakuan negara
terhadap kaum minoritas dalam sistem peradilan pidana.
Sesuai dengan rekomendasi dan ketetapan
Sidang, kedua pembicara ASNLF memfokuskan pidatonya tentang peran polisi
dalam menjalankan hukum dan tantangan-tantangan yang dihadapi minoritas
di seluruh Indonesia, khususnya di Aceh. Selanjutnya kedua pembicara
ASNLF memaparkan dengan singkat faktor-faktor nyata yang telah membuat
hukum tidak bisa ditegakkan di Indonesia dan kekerasan serta pelanggaran
HAM tidak bisa dihentikan.
Menurut ASNLF, ada tiga faktor yang
telah membuat Indonesia gagal sebagai sebuah negara: Kekebalan hukum
(impunitas), korupsi dan budaya sogok menyogok. Asnawi Ali dengan
lantang menunjukkan bahwa penegakan hukum dan impunitas merupakan
tantangan paling berat untuk Indonesia. Kekebalan hukum terhadap
pelanggar HAM berat yang telah membunuh, menyiksa dan ”menghilangkan”
ribuan rakyat Aceh selama tiga dekade konflik yang tidak pernah diadili,
apa lagi dihukum.
Meski sudah memasuki kurun waktu sepuluh
tahun pasca konflik, pejabat Indonesia tidak pernah menunjukkan niat
baiknya untuk menyelesaikan kejahatan-kejahatan kemanusiaan di masa
konflik. Sebaliknya, Indonesia malah masih menganggap Aceh sebagai
sebuah ancaman keutuhan wilayah NKRI (But despite the deal, the
authorities have shown no interest in addressing past crimes…Ten years
on, Acheh is still regarded as a potential threat to Indonesia’s
territorial integrity. The greatest challenges minorities are facing in
Indonesia is law enforcement and impunity. Those responsible for the
thousands of killings, torture and disappearances have never been
prosecuted or punished.)
Sementara itu Imran Abdurrauf menekankan
tentang korupsi yang sudah sangat membudaya di Indonesia dan menuding
kepolisian merupakan salah satu institusi yang paling korup di
Indonesia. Perkara-perkara yang berkaitan dengan sogok-sogokan menimpa
berbagai lapisan penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa, dll. (”As
corruption is rampant, police has become one of the most corrupt
institutions in Indonesia. Problems related with bribery are everywhere,
whether it be with police, judges, prosecutors etc. Indonesians have
this culture when it comes to their dealings with the law”). Dia
juga sangat menyayangkan bahwa penegak hukum di Indonesia, contohnya
polisi, kadang-kadang dalam waktu yang sama juga sebagai pelanggar hukum
alias kriminal (”.…the forces that should prevent human rights
abuses are at the same time the perpetrators themselves – the police,
for example, is at the same time the criminal”)
Pada akhir hari kedua Sidang, wakil
delegasi tetap RI untuk PBB di Jenewa Caka A Awal memberikan
argumentasi bahwa untuk memberantas korupsi Indonesia telah mempunyai
mekanisme sendiri seperti adanya badan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),
dan penegakan hukum berjalan lancar sebagaimana perundang undangan
yang berlaku ”Setiap ada masalah hukum langsung ditanganinya dengan secepatnya”, ungkap Caka.
Menanggapi jawaban pihak Indonesia atas
tudingan ASNLF, Asnawi Ali mengatakan bahwa “itu merupakan jawaban
normatif yang hampir sama setiap tahun kami dengar. Sedangkan
penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM selama konflik bersenjata
dan sesudahnya di Aceh, tidak pernah ditindak lanjuti”katanya.
Ditambahkan “Dibalik semua itu kehadiran
ASNLF dalam forum ini telah menambahkan beban “batin” kepada Indonesia.
Mereka (Indonesia-red) tidak bisa lagi menipu masyarakat internasional
bahwa keadaan di Aceh baik-baik saja dan persoalan Aceh sudah selesai
dengan adanya MoU Helsinki.
Menurut Asnawi yang lebih mencengangkan
Indonesia kali ini adalah keberhasilan ASNLF memasukkan secara resmi dua
delegasinya yang paling muda ke dalam forum Internasional ini, Ini
juga membuktikan bahwa ASNLF telah berhasil membina dan mempersiapkan
kadernya untuk perjuangan yang masih panjang ini.
Pada kesempatan wawancara langsung dengan Asnawi Ali dirinya mewakili ASNLF menyampaikan Terima kasih kepada UNPO (Unrepresented Nations and Peoples Organization)
yang telah mendidik generasi muda ASNLF untuk menjadi diplomat-diplomat
tangguh di kemudian hari dalam membela dan mempertahankan bangsa dan
negerinya. (Jurnalatjeh)
Catatan : Redaksi
jurnalatjeh.com dan jurnalatjeh TV juga menerima pernyataan resmi dalam
website UNPO dan rekaman video yang diambil langsung dari UN website
TV.
loading...
Post a Comment