Halloween Costume ideas 2015
loading...

Bara Konflik di Tanoh Aceh

AMP - Sirine ambulans meraung-raung di jalan berbatu Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, Jumat, 21 Agustus 2015.

Di halaman sebuah rumah berkontruksi kayu puluhan warga berjejer. Dua dan muda berkumpul di rumah itu.

Isak tangis membuncah saat ambulans semakin mendekat. Di belakang ambulans tampak mobil barracuda.

Sejumlah polisi menggunakan senjata laras panjang berjaga di lokasi. Sebagian dari mereka tampak mengenakan baju bebas, ada juga yang mengenakan rompi antipeluru bertuliskan “POLISI” di bagian belakang rompi.

Di situlah rumah Ridwan, pria yang diduga anggota kelompok bersenjata Aceh yang dipimpin Din Minimi.

Sehari sebelumnya, sekitar pukul 17.00 WIB, polisi terlibat baku tembak dengan Ridwan di rumahnya. Polisi mengklaim, Ridwan melakukan perlawanan.

Satu senjata laras panjang jenis AK 56, dua magazen masing-masing berisi 30 dan 26 peluru disita dari rumah Ridwan. Sedangkan dua teman Ridwan lainnya berhasil melarikan diri.

Hasil otopsi di Rumah Sakit Cut Meutia (RSCM) Aceh Utara menyatakan, tujuh peluru menembus dada, pinggang kiri dan kanan, leher dan punggung Ridwan.

Tiga bulan sebelumnya, Polres Pidie menembak mati mati dua anggota Din Minimi pada 20 Mei 2015. Mereka adalah Subri, warga Aceh Utara dan Ibrahim Yusuf, warga Kabupaten Pidie.

Anggota lainnya yang meninggal dunia di tempat berbeda yaitu Beureujuk, Ibrahim, M Rizal, Marzuki dan Yusliadi. 

Kemunculan Din Minimi terbilang mengejutkan. Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu muncul dengan tuntutan kesejahteraan pada Pemerintah Aceh.

Dia ingin di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, Aceh semakin sejahtera.

Selain itu, dia meminta pemerintah memperhatikan korban konflik, janda dan anak yatim korban konflik sepanjang 35 tahun lebih di Aceh.

Tuntutan itu disampaikan Din Minimi berulang kali. Terakhir, ketika kelompoknya terus diburu polisi, Din mengaku siap berperang. Dia bahkan menabuh genderang perang pada satuan polisi di Aceh.

“Kami tidak ganggu polisi. Jika kami terus diganggu, kami akan bertahan dan siap berperang. Tuntutan kami realistis, kami ingin kesejahteraan rakyat,” ujarnya kepada Kompas.com, baru-baru ini.  

Din terbilang pentolan gerakan bersenjata yang mudah dihubungi. Sejumlah wartawan bisa menelepon pria yang bersembunyi di hutan kawasan Aceh Timur dan Aceh Utara itu.

Sesekali, dia mencoba berpindah tempat ke Pidie dan kabupaten lainnya.

Tembak Mati TNI

Din Minimi dan kelompoknya diduga menembak mati dua anggota intel TNI dari Kodim 0103 Aceh Utara pada 24 Maret 2015 silam di Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara.

Kedua personel TNI itu yakni Sersan Satu Indra dan Sersan Dua Hendri.

Di dekat jenazah yang ditemukan dalam kondisi telungkup dan hanya mengenakan celana dalam, ditemukan 12 selongsong peluru senapan jenis SS1 dan tiga selongsong M-16.

Sejumlah anak buah Din Minimi yang berhasil ditangkap belakangan mengaku bahwa mereka yang menembak kedua personel angkatan darat itu. Bahkan, saat ditembak, Din Minimi berada di kawasan pedalaman itu.

Keterangan bahwa Din Minimi terlibat dalam penembakan itu disampaikan Faisal alias Komeng, anggota Din Minimi yang telah ditangkap.

Dia merincikan, enam orang terlibat dalam penembakan saat matahari mulai membungkuk ke barat itu.

Tembakan pertama dilepaskan oleh Din Minimi, berikutnya oleh Azhar alias Bahar, lalu Alue, Abu Aziz, Zalfanir, Yusrizal dan terakhir Faisal. 

"Saat saya tembak keduanya telah tewas," ujarnya, saat rekontruksi penembakan itu di Mapolres Lhokseumawe, 6 Oktober 2015.

Lain pengakuan Faisal, lain pula pengakuan Din Minimi. Menurut Safaruddin dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Din Minimi tidak terlibat.

“Dia tidak terlibat penembakan TNI. Namun, dia mengaku bahwa menculik Ayah Mud, mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka di Aceh Utara,” ujar Safaruddin.

Din juga membantah langsung kepada sejumlah wartawan. Dia mengaku tidak pernah menembak anggota TNI itu.  

Pengejaran Din Minimi

Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi menyebutkan pihaknya telah menyita 15 pucuk senjata api dari kelompok Din Minimi. Belasan anggota Din Minimi sudah ditangkap dan kini menjalani proses hukum di Polres Aceh Timur, Pidie, Aceh Utara dan Polres Aceh Timur.

“Kami duga jumlah senjata mereka sekitar 15 pucuk lagi dari berbagai jenis. Anggotanya mungkin belasan orang. Kita terus buru dan tangkap dia (Din Minimi),” kata Kapolda.

Pria berkumis tebal ini menyebutkan pihaknya berkali-kali mengimbau agar Din Minimi dan kelompoknya menyerahkan diri. Jika tidak, sambung Kapolda, maka polisi terus memburu sampai ketemu seluruh kelompok bersenjata api itu.

Kasat Reskrim Polres Aceh Timur AKP Budi Nasuha W menyatakan, Din Minimi telah dilokalisir. 

“Dia berpindah dari hutan Aceh Timur ke perbatasan Aceh Utara. Kita terus memburunya sampai ketemu,” ujarnya.

Sepanjang dua bulan terakhir, polisi telah dua kali terlibat kontak tembak dengan Din Minimi. Namun, pria ini selalu lolos dari kejaran aparat keamanan di Aceh.

Ancaman Perdamaian

Pengamat Politik dan Terorisme dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Al Chaidar menyatakan, Din Minimi bukan seorang ideolog.

“Saya lihat mereka yang mau terlibat itu hanya soal finansial saja. Saya lihat dia (Din Minimi) bukan ideolog. Jadi, besar kemungkinan tak bisa mempengaruhi masyarakat secara masif,” ujar Al Chaidar.

Alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menyebutkan, dalam jangka panjang, Din Minimi bisa menganggu suasana damai Aceh yang telah berlangsung sepuluh tahun terakhir.

Aceh, sambung Chaidar setelah perang panjang telah berdamai dan wajib dipertahankan.

"Untuk itu, perlu upaya tegas mengakhiri kelompok ini. Bisa diselesaikan secara bijak dan melalui mekanisme hukum yang ada," ujarnya.

Jika kelompok itu terus dibiarkan, maka citra Aceh kian memburuk. Padahal, secara ekonomi, sambung Chaidar, Aceh perlu citra positif, agar investasi tumbuh dan masyarakat nyaman.

“Masyarakat kita sudah sangat trauma dengan suara senjata,” ucapnya.  

Din Minimi, bisa jadi bara konflik dalam situasi damai Aceh. Gubernur Aceh Zaini Abdullah menamsilkan Din Minimi layaknya orang buta. 

Orang buta, pasti tidak tahu membedakan warna hitam, merah dan lainnya. Ketika diberi tahu, barulah dia tahu jenis warna.

“Begitu pula dengan Din Minimi. Kita sudah ajak dialog, kita perbaiki semua tentang Aceh. Memperbaiki Aceh bukan dengan mengangkat senjata,” ujar gubernur.

Soal kelompok bersenjata, gubernur menyerahkan sepenuhnya pada aparat keamanan.

“Sudah jelas, memiliki senjata itu dilarang,” ucapnya.

Asisten III Pemerintah Aceh, Muzakkar, menyebutan, Pemerintah Aceh sudah merespons tuntutan Din Minimi.

Buktinya, Pemerintah Aceh telah memberikan bantuan biaya pendidikan untuk 110.000 anak yatim korban konflik dari jenjang SD-SMA. Mereka menerima bantuan pendidikan Rp 1,8 juta per tahun.

Dinas Sosial Aceh, sambung Muzakkar saban tahun merehab rumah kaum duafa Aceh sebanyak 500-1.000 unit rumah. Ditambah lagi, Pemerintah Aceh mengeluarkan program Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) untuk 5,2 juta penduduk provinsi di ujung Pulau Sumatera itu.

“Soal bantuan untuk mantan kombatan juga terus digulirkan, misalnya melalui program pemberian bibit kakao, sawit dan lain sebagainya. Bahkan termasuk pemberian lahan,” ujarnya.

Meski Muzakkar memaparkan bantuan dengan nilai miliaran rupiah itu, hingga hari ini, Din Minimi memimpin rombongannya di hutan Aceh. Mereka masih memanggul senjata, menuntut kesejahteraan rakyat Aceh secara menyeluruh.

Ratusan polisi dan brimob dikerahkan ke Aceh Timur untuk menangkap kelompok ini.  


Kini, drama panjang belum berakhir. Publik masih menunggu bagaimana penanganan terhadap Din Minimi secara arif, bijaksana dan sedapat mungkin meminimalkan korban jiwa. Inilah kisah bara konflik di tanoh (tanah) Aceh. 

 Sumber: kompas.com
loading...
Labels:

Post a Comment

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget