AMP - Warga
Aceh penerima suaka politik di sejumlah negara Eropa masih terus
mengkampanyekan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan oleh alat
negara dalam membasmi kelompok-kelompok perlawanan di Aceh.
Para warga Aceh ini tergabung dalam organisasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF)--nama yang sama seperti lembaga pergerakan yang pernah dikomandoi Hasan Tiro dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi Aceh.
Penolakan aksi kekerasan dan penghukuman tanpa proses pengadilan ini disampaikan dua aktivis ASNLF, masing-masing Imran Abdurrauf di hari pertama dan Asnawi Ali pada hari kedua.
Dalam tayangan video yang dikirim ke Serambinews.com, Sabtu (28/11/2015), Wakil Sekretaris ASNLF, Asnawi Ali terlihat berbicara selama tiga menit dalam forum internasional yang digelar di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) selama 24-25 November 2015 di Room XX, Palais des Nations, Jenewa, Swiss.
Informasi dihimpun Serambinews.com, forum bertemakan: challenges of criminal justice systems in addressing the needs and demands of minorities (tantangan sistem peradilan pidana dalam menangani kebutuhan dan tuntutan minoritas) itu menghadirkan seluruh perwakilan negara-negara di dunia dan sejumlah NGO yang bergerak dalam penegakan hukum dan kampanye antikorupsi.
ASNLF sendiri berada di barisan yang sederet dengan sejumlah NGO anti-korupsi di seluruh dunia, termasuk sebuah LSM antikorupsi dari Jakarta.
Masing-masing pihak diberikan waktu 3 menit untuk menyampaikan nota keberatan dan bantahan.
Asnawi dalam nota keberatannya mengatakan, Indonesia adalah negara yang menandatangani Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Karena itu, ASNLF mendesak agar Indonesia mematuhi pasal 6 ayat 1 dari ICCPR tersebut yang berbunyi: "Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tidak boleh dengan sewenang-wenang merampas hidup orang sipil di Aceh," katanya.
"Ini termasuk kasus pembunuhan di luar koridor hukum oleh operasi polisi terhadap warga sipil Aceh sejak bulan Maret 2015," katanya.
Ia mendesak PBB untuk menekan Indonesia agar bertindak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku terhadap setiap insiden kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri serta pula akuntabilitas atas kejahatan kemanusiaanya di Aceh.
"Banyak kasus impunitas (kekebalan hukum) yang menyebabkan selalu terulangnya kekerasan di tanah rencong," katannya dalam pesan khusus kepada Serambinews.com.
Sementara bantahan dari Perwakilan Republik Indonesia disampaikan oleh Caka A Awal, Sekretaris Utama dalam Misi Tetap Republik Indonesia untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional di Jenewa.
Caka A Awal mengatakan bahwa informasi yang disampaikan ASNLF kurang update dan masih memerlukan verifikasi lanjutan.
Bahkan, pihak Republik Indonesia juga menyatakan, sistem penegakan hukum di Indonesia sudah mulai membaik seiring dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebagai informasi, ASNLF sendiri adalah organisasi yang mewakili Aceh di Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang mulai diakui kembali pada 28 Juni 2014 lalu dan sesuai dengan kovenan UNPO.
Sedangkan forum kaum minoritas di Jenewa tersebut digelar setiap tahun dan tahun ini adalah yang ke 8.
Para warga Aceh ini tergabung dalam organisasi Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF)--nama yang sama seperti lembaga pergerakan yang pernah dikomandoi Hasan Tiro dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi Aceh.
Penolakan aksi kekerasan dan penghukuman tanpa proses pengadilan ini disampaikan dua aktivis ASNLF, masing-masing Imran Abdurrauf di hari pertama dan Asnawi Ali pada hari kedua.
Dalam tayangan video yang dikirim ke Serambinews.com, Sabtu (28/11/2015), Wakil Sekretaris ASNLF, Asnawi Ali terlihat berbicara selama tiga menit dalam forum internasional yang digelar di Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) selama 24-25 November 2015 di Room XX, Palais des Nations, Jenewa, Swiss.
Informasi dihimpun Serambinews.com, forum bertemakan: challenges of criminal justice systems in addressing the needs and demands of minorities (tantangan sistem peradilan pidana dalam menangani kebutuhan dan tuntutan minoritas) itu menghadirkan seluruh perwakilan negara-negara di dunia dan sejumlah NGO yang bergerak dalam penegakan hukum dan kampanye antikorupsi.
ASNLF sendiri berada di barisan yang sederet dengan sejumlah NGO anti-korupsi di seluruh dunia, termasuk sebuah LSM antikorupsi dari Jakarta.
Masing-masing pihak diberikan waktu 3 menit untuk menyampaikan nota keberatan dan bantahan.
Asnawi dalam nota keberatannya mengatakan, Indonesia adalah negara yang menandatangani Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Karena itu, ASNLF mendesak agar Indonesia mematuhi pasal 6 ayat 1 dari ICCPR tersebut yang berbunyi: "Setiap manusia memiliki hak untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tidak boleh dengan sewenang-wenang merampas hidup orang sipil di Aceh," katanya.
"Ini termasuk kasus pembunuhan di luar koridor hukum oleh operasi polisi terhadap warga sipil Aceh sejak bulan Maret 2015," katanya.
Ia mendesak PBB untuk menekan Indonesia agar bertindak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku terhadap setiap insiden kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri serta pula akuntabilitas atas kejahatan kemanusiaanya di Aceh.
"Banyak kasus impunitas (kekebalan hukum) yang menyebabkan selalu terulangnya kekerasan di tanah rencong," katannya dalam pesan khusus kepada Serambinews.com.
Sementara bantahan dari Perwakilan Republik Indonesia disampaikan oleh Caka A Awal, Sekretaris Utama dalam Misi Tetap Republik Indonesia untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional di Jenewa.
Caka A Awal mengatakan bahwa informasi yang disampaikan ASNLF kurang update dan masih memerlukan verifikasi lanjutan.
Bahkan, pihak Republik Indonesia juga menyatakan, sistem penegakan hukum di Indonesia sudah mulai membaik seiring dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebagai informasi, ASNLF sendiri adalah organisasi yang mewakili Aceh di Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang mulai diakui kembali pada 28 Juni 2014 lalu dan sesuai dengan kovenan UNPO.
Sedangkan forum kaum minoritas di Jenewa tersebut digelar setiap tahun dan tahun ini adalah yang ke 8.
Lihat Videonya disini
loading...
Post a Comment