AMP - Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sudah beberapa kali melakukan perombakan dan pergantian pajabat di lingkungan Pemerintah Aceh. Dalam setiap pelantikan, Gubernur kerap mengatakan, mutasi pejabat adalah bentuk penyegaran organisasi dalam meningkatkan kinerja roda pemerintahan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat Aceh.
Pergantian yang dilakukan sama sekali tidak mengandung unsur hukuman, tidak ada pula unsur kebencian. Yang ada hanyalah penyegaran dengan tujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik.Langkah pergeseran atau tour of duty sebagai momentum untuk evaluasi.
Yang harus dipahami, kata Gubernur, jabatan yang diemban ini bukanlah hadiah, bukan hak, dan bukan pula kepemilikan. Jabatan ini adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Amanah dan jujur merupakan tonggak menuju keberhasilan.
Pernyataan yang disampaikan Gubernur ini sangat jelas dan tegas dan kita yakin tidak ada pejabat yang berani ingkar. Cuma dalam pengalaman selama ini, kita sudah sulit menemukan pejabat yang berani mengatakan yang sebenarnya kepada atasannnya. Kebanyakan mareka,
hanya ingin bagaimana agar disenangi atasan, meskipun dengan cara memunafikan kebenaran sekalipun.
Kita masih menyangsikan sikap amanah dan jujur dikalangan pejabat pejabat yang kini ditempatkan. Diantara kesangsian kita dan masih bertanya tanya, misalnya, mampukan mareka melakukan pemerataan kesejahteraan kepada masyarakat, keadilan dan tidak ada lagi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Namun apapun ceritanya, kita masih menaruh percaya kepada Zaini Abdullah karena dalam penempatan pejabat di era reformasi birokrasi sekarang ini amatlah penting, karena bagaimanapun seorang pemimpin haruslah didampingi oleh orang-orang yang sejalan dengannya.
Kita juga masih menaruh percaya penempatan pejabat yang dilakukan benar benar didasarkan kepada profesionalisme, kompetensi, bakat, kemampuan dan keahlian pejabat yang bersangkutan dalam bidang dimana ia ditempatkan, bukan didasarkan atas dasar suka tidak suka.
Jika seorang pemimpin menempatkan seseorang hanya didasarkan atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja, maka bagi yang kurang kuat pendiriannya, mudah melakukan pekerjaan munafik. Makin lama, makin banyak munafiknya, karena sudah terbiasa. Malahan berbuat munafik sudah dianggap biasa.
Karena sudah terbiasa, melakukan pekerjaan munafik, begitu memegang kunci penentu (decesion maker atau determinator), sudah terlatih. Nalurinya sudah peka bagaimana mengibuli rakyat. Inderanya begitu tajam mana yang bisa dimunafikkan.
Mengutip Evendhy M.Siregar dalam bukunya, Profesionalisme Birokrasi dapat disimpulkan, dizaman reformasi yang kebablasan sekarang ini, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang takut kehilangan status social (jabatan)nya.
Sekarang ini, banyak kita jumpai, khususnya pejabat tidak berani mengeluarkan pendapat, memberikan saran dan masukan kepada pimpinan apalagi dalam bentuk kritik. Jika sikap diam dan pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh yang berkembang, maka sadar atau tidak telah mengajar kita selalu mengalah dan mengorbankan hati nurani.
Yang lebih buruk lagi, para pejabat cendrungan untuk menipu dirinya sendiri sehingga tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Pejabat yang demikiian, dikhawatirkan akan terus bertambah sementara pejabat yang berani bertanya, berani memberikan saran atau masukan kepada pimpinan karena memegang prinsip mempunyai resiko, tidak akan mendapat jabatan.
Evendhy M.Siregar, dalam tulisan lainnya mensitir ungkapan seorang politikus amatiran yang mengatakan “ Bung harus belajar menyesuaikan diri. Kita harus luwes bergaul, supaya hidup kita selamat dan karier bisa menanjak. Tidaklah salah, sedikit-sedikit munafik. Supaya kita jangan lain dari yang lain. Nanti orang akan muak melihat kita, karena dikira sok alim.
Timbulnya fenomena seperti di atas apakah merupakan imbas dari penerapan Otonomi Daerah, yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Setuju atau tidak, dalam kenyataannya dengan deberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 1999 lalu, telah membawa dampak positif terhadap kondisi sosio politik diberbagai daerah termasuk di Aceh
Dapat terlihat, sistem pemerintahan di Aceh berkembangnya sistem pemerintahan yang sentralistik dengan tradisi local dan hubungan patron-klien yang masih terus berlangsung diantara birokrat. Praktek sehari-hari memberikan gambaran mengenai seberapa jauh teknik-teknik sentralistik dan hirarkis yang lama masih terjadi dalam pemerintahan di Aceh.
Misalnya dalam proses pengambilan kebijakan sehari-hari, kebanyakan pejabat seniorlah yang menentukan banyak hal. Semakin senior seorang birokrat, semakin dia yang menentukan keputusan. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa prosedur-prosedur administrasi dan pemerintahan didominasi oleh elit-elit local.
Melihat kepada lokalitas Aceh yang memiliki ruang, identitas dan perwatakan tersendiri hingga memiliki dinamika tersendiri yang tidak dapat dicampur adukkan dan digeneralisir. Kekhasan dinamis yang dimiliki Aceh menyimpan banyak persamaan pola, kepentingan dan
sejenisnya.
Mungkin disinilah peran Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk melihat kekhasan dan perwatakan local yang dinamis tersebut, problem lokalitas dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan local yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat di dalamnya.
Disinilah barangkali nantinya aspek lokalitas menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan dinamika politik di Aceh.
Karenanya pula sebagai eksponen penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, para pejabat daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengelola dinamika politik secara pro aktif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pengelolaan dinamika politik ini seyogyanya mengacu pada bekerjanya institusi-institusi setempat.
Kaitan dengan hal ini, pejabat pemerintah yang bermaksud untuk ambil bagian dalam mengelola dinamika masyarakat dituntut untuk faham terhadap pasang surutnya dinamika tersebut. Namun terkadang, karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang arti dan pemahaman politik lokal membuat mereka jadi seenaknya saja melakukan politik busuk.
Dalam politik busuk semua hal dipolitisir dengan mengemukakan alasan-alasan yang dibuat sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma politik itu sendiri, tidak jarang mereka selalu mencari dan mengemukakan kata-kata pembenar yang justru sebenarnya tidak benar.
Akibatnya konotasi politik itu sendiri menjadi amburadul dan berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat.
Keadaan semacam ini banyak terjadi dalam Birokrasi Pemerintahan di Aceh, Kepala Daerah seolah menjadi raja kecil di daerah kekuasaannya, berbuat dan bertindak dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri dengan alasan dan argumentasi yang dibuat sendiri tanpa mempertimbangkan atau berpijak pada ketentuan dan rambu rambu hukum yang berlaku.
Lebih parah lagi kedudukan pegawai sesuai dengan tingkat kemampuan/kualitas pegawai, sesuai dengan profesionalisme atau tingkat kompetensi yang dimiliki, tidak terpakai. Yang ditempatkan justru orang-orang yang dianggap telah berjasa memenangkannya, orang orang
yang dekat dengan keluarganya atau orang-orang yang memiliki kemampuan cari muka dihadapannya.
Sudah menjadi tradisi di birokrasi pemerintahan di Aceh, baik tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, bila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah telah berganti, maka para Kepala SKPD dan pejabat lainnya sudah mulai tidak tenang dalam bekerja, karena sudah pasti tsunami mutasi akan menimpa mereka.
Kita dapat melihat di hampir semua daerah di Aceh, begitu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dilantik, tidak lama kemudian, para SKPD dan Camat digusur dan dicopot dari jabatannya bahkan, tanpa melalui proses hukum yang jelas, dan terkadang amat menyakitkan.
Yang menyedihkan lagi adalah para pejabat yang dicopot itu tidak lagi mendapat jabatan alias Non Job. Kita sangat sayangkan tindakan dari sang penguasa Kepala Daerah seperti ini, sebab bukti riel memperlihatkan bahwa dintara beberapa pejabat atau camat yang dicopot
dan di non jobkan itu, terdapat beberapa yang berprestasi misalnya dengan meraih sebagai Pejabat Teladan.
Disinilah terkadang para Kepala Daerah lupa kepada ucapannya yang selalu bertindak adil, dan akan menempatkan pejabat sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme yang dimiliki
masing-masing, bahkan ketika telah melakukan mutasipun ia sempat mengatakan bahwa dalam mutasi telah dilakukan sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme masing-masing.
Kita bisa melihat, para lulusan APDN sebagai camat karena memang para alumni APDN disiapkan untuk itu, tapi kenyataannya, banyak camat yang di non jobkan dan menempatkan camat dari pegawai yang berpendidikan diluar Alumni APDN, STPDN, IIP dan IPDN. Padahal alumni tersebut merupakan pendidikan kedinasan Kementerian Dalam Negeri yang segala biaya pendidikannya ditanggung oleh Negara.
Makanya jangan heran bila istilah Non Job sekarang telah menjadi momok yang mengerikan bagi pejabat di Aceh. Apakah ini yang dinamakan profesionalisme. Pemimpin semacam inilah yang memang harus ada di Aceh sekarang ini. Wallahua’lambisawab.[jurnalatjeh.com]
Pergantian yang dilakukan sama sekali tidak mengandung unsur hukuman, tidak ada pula unsur kebencian. Yang ada hanyalah penyegaran dengan tujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik.Langkah pergeseran atau tour of duty sebagai momentum untuk evaluasi.
Yang harus dipahami, kata Gubernur, jabatan yang diemban ini bukanlah hadiah, bukan hak, dan bukan pula kepemilikan. Jabatan ini adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Amanah dan jujur merupakan tonggak menuju keberhasilan.
Pernyataan yang disampaikan Gubernur ini sangat jelas dan tegas dan kita yakin tidak ada pejabat yang berani ingkar. Cuma dalam pengalaman selama ini, kita sudah sulit menemukan pejabat yang berani mengatakan yang sebenarnya kepada atasannnya. Kebanyakan mareka,
hanya ingin bagaimana agar disenangi atasan, meskipun dengan cara memunafikan kebenaran sekalipun.
Kita masih menyangsikan sikap amanah dan jujur dikalangan pejabat pejabat yang kini ditempatkan. Diantara kesangsian kita dan masih bertanya tanya, misalnya, mampukan mareka melakukan pemerataan kesejahteraan kepada masyarakat, keadilan dan tidak ada lagi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Namun apapun ceritanya, kita masih menaruh percaya kepada Zaini Abdullah karena dalam penempatan pejabat di era reformasi birokrasi sekarang ini amatlah penting, karena bagaimanapun seorang pemimpin haruslah didampingi oleh orang-orang yang sejalan dengannya.
Kita juga masih menaruh percaya penempatan pejabat yang dilakukan benar benar didasarkan kepada profesionalisme, kompetensi, bakat, kemampuan dan keahlian pejabat yang bersangkutan dalam bidang dimana ia ditempatkan, bukan didasarkan atas dasar suka tidak suka.
Jika seorang pemimpin menempatkan seseorang hanya didasarkan atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja, maka bagi yang kurang kuat pendiriannya, mudah melakukan pekerjaan munafik. Makin lama, makin banyak munafiknya, karena sudah terbiasa. Malahan berbuat munafik sudah dianggap biasa.
Karena sudah terbiasa, melakukan pekerjaan munafik, begitu memegang kunci penentu (decesion maker atau determinator), sudah terlatih. Nalurinya sudah peka bagaimana mengibuli rakyat. Inderanya begitu tajam mana yang bisa dimunafikkan.
Mengutip Evendhy M.Siregar dalam bukunya, Profesionalisme Birokrasi dapat disimpulkan, dizaman reformasi yang kebablasan sekarang ini, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang takut kehilangan status social (jabatan)nya.
Sekarang ini, banyak kita jumpai, khususnya pejabat tidak berani mengeluarkan pendapat, memberikan saran dan masukan kepada pimpinan apalagi dalam bentuk kritik. Jika sikap diam dan pura-pura tidak tahu, cuek atau masa bodoh yang berkembang, maka sadar atau tidak telah mengajar kita selalu mengalah dan mengorbankan hati nurani.
Yang lebih buruk lagi, para pejabat cendrungan untuk menipu dirinya sendiri sehingga tidak lagi mengenal dirinya sendiri. Pejabat yang demikiian, dikhawatirkan akan terus bertambah sementara pejabat yang berani bertanya, berani memberikan saran atau masukan kepada pimpinan karena memegang prinsip mempunyai resiko, tidak akan mendapat jabatan.
Evendhy M.Siregar, dalam tulisan lainnya mensitir ungkapan seorang politikus amatiran yang mengatakan “ Bung harus belajar menyesuaikan diri. Kita harus luwes bergaul, supaya hidup kita selamat dan karier bisa menanjak. Tidaklah salah, sedikit-sedikit munafik. Supaya kita jangan lain dari yang lain. Nanti orang akan muak melihat kita, karena dikira sok alim.
Timbulnya fenomena seperti di atas apakah merupakan imbas dari penerapan Otonomi Daerah, yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Setuju atau tidak, dalam kenyataannya dengan deberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 1999 lalu, telah membawa dampak positif terhadap kondisi sosio politik diberbagai daerah termasuk di Aceh
Dapat terlihat, sistem pemerintahan di Aceh berkembangnya sistem pemerintahan yang sentralistik dengan tradisi local dan hubungan patron-klien yang masih terus berlangsung diantara birokrat. Praktek sehari-hari memberikan gambaran mengenai seberapa jauh teknik-teknik sentralistik dan hirarkis yang lama masih terjadi dalam pemerintahan di Aceh.
Misalnya dalam proses pengambilan kebijakan sehari-hari, kebanyakan pejabat seniorlah yang menentukan banyak hal. Semakin senior seorang birokrat, semakin dia yang menentukan keputusan. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa prosedur-prosedur administrasi dan pemerintahan didominasi oleh elit-elit local.
Melihat kepada lokalitas Aceh yang memiliki ruang, identitas dan perwatakan tersendiri hingga memiliki dinamika tersendiri yang tidak dapat dicampur adukkan dan digeneralisir. Kekhasan dinamis yang dimiliki Aceh menyimpan banyak persamaan pola, kepentingan dan
sejenisnya.
Mungkin disinilah peran Gubernur Aceh, Zaini Abdullah untuk melihat kekhasan dan perwatakan local yang dinamis tersebut, problem lokalitas dapat diselesaikan dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan local yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat di dalamnya.
Disinilah barangkali nantinya aspek lokalitas menjadi sesuatu yang penting dalam pengelolaan dinamika politik di Aceh.
Karenanya pula sebagai eksponen penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, para pejabat daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengelola dinamika politik secara pro aktif, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Pengelolaan dinamika politik ini seyogyanya mengacu pada bekerjanya institusi-institusi setempat.
Kaitan dengan hal ini, pejabat pemerintah yang bermaksud untuk ambil bagian dalam mengelola dinamika masyarakat dituntut untuk faham terhadap pasang surutnya dinamika tersebut. Namun terkadang, karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang arti dan pemahaman politik lokal membuat mereka jadi seenaknya saja melakukan politik busuk.
Dalam politik busuk semua hal dipolitisir dengan mengemukakan alasan-alasan yang dibuat sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma politik itu sendiri, tidak jarang mereka selalu mencari dan mengemukakan kata-kata pembenar yang justru sebenarnya tidak benar.
Akibatnya konotasi politik itu sendiri menjadi amburadul dan berkonotasi negatif dalam pandangan masyarakat.
Keadaan semacam ini banyak terjadi dalam Birokrasi Pemerintahan di Aceh, Kepala Daerah seolah menjadi raja kecil di daerah kekuasaannya, berbuat dan bertindak dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri dengan alasan dan argumentasi yang dibuat sendiri tanpa mempertimbangkan atau berpijak pada ketentuan dan rambu rambu hukum yang berlaku.
Lebih parah lagi kedudukan pegawai sesuai dengan tingkat kemampuan/kualitas pegawai, sesuai dengan profesionalisme atau tingkat kompetensi yang dimiliki, tidak terpakai. Yang ditempatkan justru orang-orang yang dianggap telah berjasa memenangkannya, orang orang
yang dekat dengan keluarganya atau orang-orang yang memiliki kemampuan cari muka dihadapannya.
Sudah menjadi tradisi di birokrasi pemerintahan di Aceh, baik tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, bila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah telah berganti, maka para Kepala SKPD dan pejabat lainnya sudah mulai tidak tenang dalam bekerja, karena sudah pasti tsunami mutasi akan menimpa mereka.
Kita dapat melihat di hampir semua daerah di Aceh, begitu Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dilantik, tidak lama kemudian, para SKPD dan Camat digusur dan dicopot dari jabatannya bahkan, tanpa melalui proses hukum yang jelas, dan terkadang amat menyakitkan.
Yang menyedihkan lagi adalah para pejabat yang dicopot itu tidak lagi mendapat jabatan alias Non Job. Kita sangat sayangkan tindakan dari sang penguasa Kepala Daerah seperti ini, sebab bukti riel memperlihatkan bahwa dintara beberapa pejabat atau camat yang dicopot
dan di non jobkan itu, terdapat beberapa yang berprestasi misalnya dengan meraih sebagai Pejabat Teladan.
Disinilah terkadang para Kepala Daerah lupa kepada ucapannya yang selalu bertindak adil, dan akan menempatkan pejabat sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme yang dimiliki
masing-masing, bahkan ketika telah melakukan mutasipun ia sempat mengatakan bahwa dalam mutasi telah dilakukan sesuai dengan kompetensi dan profesionalisme masing-masing.
Kita bisa melihat, para lulusan APDN sebagai camat karena memang para alumni APDN disiapkan untuk itu, tapi kenyataannya, banyak camat yang di non jobkan dan menempatkan camat dari pegawai yang berpendidikan diluar Alumni APDN, STPDN, IIP dan IPDN. Padahal alumni tersebut merupakan pendidikan kedinasan Kementerian Dalam Negeri yang segala biaya pendidikannya ditanggung oleh Negara.
Makanya jangan heran bila istilah Non Job sekarang telah menjadi momok yang mengerikan bagi pejabat di Aceh. Apakah ini yang dinamakan profesionalisme. Pemimpin semacam inilah yang memang harus ada di Aceh sekarang ini. Wallahua’lambisawab.[jurnalatjeh.com]
loading...
Post a Comment