AMP - Sarjana ahli kertas dari Inggris, Dr Russel Jones, dari School of Oriental and African Studies pernah meneliti jenis kertas yang dipergunakan untuk menulis kitab di Pustaka Tanoh Abee sekitar tahun 1980 lalu atau 35 tahun lalu. Ia mengatakan setidaknya terdapat 47 macam kertas yang berusia ratusan tahun di Pustaka Dayah Tanoh Abee. Salah satu kertas kitab tersebut bahkan berusia 386 tahun, yang di dalamnya terbayang seorang manusia lagi memayungi singa yang bermahkota; kaki kiri depan memegang seikat anak panah dan kaki kanan depan memegang sebilah pedang. Di tengah kertas ini terdapat tulisan Propatria.
Masih menurut Dr Russel Jones, ada juga kitab yang memakai kertas berbayang merpati dalam lingkaran dengan tulisan Nicolo Polleri Fici Mosso. Menurutnya kertas ini diproduksi di Italia, yang khusus dibuat untuk keperluan Dunia Islam.
Dayah Tanoh Abee di awal pembangunannya didirikan oleh tujuh ulama asal Baghdad, Irak. Mereka datang ke Aceh saat Sultan Iskandar Muda memerintah sekitar 1016-1045 Hijriyah atau tahun 1607-1636 Masehi. Firus Al Baghdady merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara tersebut.
Empat di antara tujuh bersaudara ini kemudian menetap di Wilayah Sagoe XXII Mukim yang diperintah oleh uleebalang terkenal bergelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa. Sementara tiga bersaudara lainnya bermukim di Tiro, Pidie, dan Pasai.
Ketujuh ulama asal Baghdad ini sama sekali tidak memusatkan perhatian kepada pemerintahan. Mereka lebih menyorot bidang pendidikan dengan membangun pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut zawiyah. Penyebutan nama zawiyah ini kemudian hari berubah menjadi dayah atau deah dalam lidah Aceh.
Firus Al Baghdady bersama tiga saudaranya kemudian membangun pusat pendidikan di Gampong Tanoh Abee dalam wilayah Sagoe XXII Mukim. Dayah ini kemudian dikenal sebagai Dayah Tanoh Abee yang menjadi salah satu pembina dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Firus Al Baghdady sebagai anak tertua menjadi pemimpin di Dayah Tanoh Abee. Ia menikah dengan salah satu putri ulama dari Aceh dan dikaruniai delapan orang anak. Tiga diantara anaknya seperti Nayan, Molek dan Hana Purba mengikuti jejaknya menjadi ulama di Aceh. Merekalah yang kemudian hari melanjutkan pembinaan Dayah Tanoh Abee.
Setelah Firus Al Baghdady meninggal, Dayah Tanoh Abee kemudian dipimpin oleh Syekh Nayan Firusi Al Baghdady. Sebelum pucuk pimpinan diberikan kepadanya, Nayan terlebih dahulu dikirim untuk melanjutkan pendidikan ke Dayah Leupue di Peunayong. Dayah ini merupakan salah satu dayah tertua dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang masa itu dipimpin Syekh Daud (Baba Daud) ar Rumy. Dia merupakan salah satu ulama yang berasal dari Kerajaan Turki Utsmaniyah.
Selain belajar dari Syekh Daud Ar Rumi, Nayan juga belajar dari Syekh Burhanuddin Ulakan di Dayah Leupue. Setelah mendapatkan ijazah dari Dayah Leupue, Nayan kembali ke wilayah Sagoe XXII Mukim dan menggantikan orang tuanya untuk memimpin Dayah Tanoh Abee.
Nayan juga mendapatkan kepercayaan dari Panglima Polem Sri Muda Perkasa untuk menjadi Kadi Rabbul Jalil (Hakim Tinggi) di Sagoe XXII Mukim. Di masa kepemimpinannya, Nayan juga membuka lokasi baru di Tuwi Ketapang dekat dengan Krueng Aceh. Lokasi baru ini kemudian menjadi tempat pendidikan bagi santri pria sementara di lokasi lama Dayah Tanoh Abee dikhususkan untuk putri.
Pengganti Syekh Nayan adalah putranya, Syekh Abdul Hafidh Al Baghdady. Saat itu Dayah Tanoh Abee sudah menjelma menjadi pusat pendidikan Islam yang menghasilkan ulama-ulama terkenal. Di antara lulusan dayah ini kemudian ada yang bekerja di bidang pemerintahan ataupun di bidang pendidikan.
Di dayah ini juga sudah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti fikih/hukum Islam, termasuk fikih dusturi (hukum tata negara), fikih dualy (hukum internasional), sejarah (termasuk sejarah Islam), akhlak/tasawuf, hisab dan ilmu falak, filsafat/ilmu kalam, mantik/logika, tafsir dan hadis.
Kepemimpinan Dayah Tanoh Abee kemudian berganti ke tangan putra Syekh Abdul Hafidh, yaitu Syekh Abdurrahim Hafidh Al Baghdady. Masa kepemimpinannya lebih memfokuskan pada pembinaan dan pengembangan perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
Kutubkhanah yang telah dibangun oleh leluhurnya Syekh Firusi Al Baghdady dikembangkan dan diperbesar dengan mengumpulkan kitab-kitab dari seluruh negara. Untuk memperkaya perpustakaannya, Syekh Abdurrahim turut memesan kitab hingga ke Timur Tengah dan Turki.
Dia lantas menganjurkan semua pelajar di Dayah Tanoh Abee untuk menyalin kitab-kitab yang telah ada, sehingga karenanya pelajaran tulisan Arab (kaligrafi Arab) lebih ditingkatkan. Atas kebijakan tersebut lah diketahui jasa Syekh Abdurrahim dalam pengembangan perpustakaan ini besar sekali.
Dayah Tanoh Abee kemudian dipimpin Syekh Muhammad Saleh, putra tunggal Syekh Abdurrahim. Di masanya tidak banyak perubahan yang dilakukan. Dia lebih cenderung menjaga dan merawat Dayah Tanoh Abee seperti yang telah ditinggalkan oleh leluhurnya. Kepemimpinan Muhammad Saleh tidak begitu lama. Ia kemudian digantikan putranya, Syekh Abdul Wahab al Baghdady.
Syekh Abdul Wahab yang dikirim ke Mekkah dan Madinah untuk memperdalam berbagai ilmu termasuk kaligrafi. Selama di Mekkah ia menyibukkan diri menyalin kitab-kitab dengan tangannya sendiri. Hasil salinannya kemudian dibawa ke Aceh dan menjadi koleksi tambahan di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
Di masa kepemimpinan Syekh Abdul Wahab koleksi kitab di Dayah Tanoh Abee sudah mencapai sepuluh ribu judul, yang satu judul terdiri dari beberapa jilid.
“Abdul Wahab sebagai Teungku Chik Tanoh Abee betul-betul telah membina pusat pendidikan Islam itu menjadi salah satu pusat pendidikan yang terkenal di Asia Tenggara, sementara kutubkhanah (perpustakaan) yang dibinanya telah menjadi sasaran penelitian dan pengajian para sarjana internasional,” tulis Ali Hasjmy.
Di masa Syekh Abdul Wahab memimpin dayah, seperti pendahulunya ia juga diangkat menjadi Kadi Rabbul Jalil. Namun saat itu pula terjadi penyerangan oleh Belanda terhadap Kerajaan Aceh Darussalam yang menyebabkan ulama-ulama, termasuk Syekh Abdul Wahab ikut serta dalam Komando Perang Jihad XXII Mukim di bawah kepemimpinan Teungku Cik Muhammad Saman Tiro.
Ia syahid dalam peperangan tersebut dengan meninggalkan 33 anak dari empat orang istrinya. Dari 33 anaknya tersebut hanya satu orang yang kemudian muncul sebagai ulama besar penerus kepemimpinan Dayah Tanoh Abee. Dia adalah Syekh Muhammad Said al Baghdady. Sementara anak-anak Syekh Abdul Wahab yang lainnya terus menggelorakn perang sabil melawan Belanda.
Semasa kepemimpinan Syekh Muhammad Said al Baghdady, Dayah Tanoh Abee turut menjadi pusat penempaan semangat perang jihad. Meskipun begitu Teungku Cik Tanoh Abee Muhammad Said masih sempat mengajar para pelajar ilmu-ilmu Islam, baik agama ataupun umum. Muhammad Said juga masih sempat menulis Alquranul Karim dan kitab-kitab agama lainnya dengan tangannya yang cekatan dan sekarang masih tersimpan di dalam Perpustakaan Tanoh Abee.
Dayah Tanoh Abee, sama dengan dayah-dayah lainnya di Aceh, yang telah berubah menjadi Markas Perang Sabil kemudian menjadi sasaran penyerangan oleh Belanda. Saat itu, Belanda berhasil menangkap Syekh Muhammad Said dan membawanya ke Banda Aceh untuk ditahan di penjara Keudah.
Namun usai serangan tersebut, prajurit-prajurit Belanda tidak ada yang berani menduduki Dayah Tanoh Abee. Mereka sepakat meninggalkan dayah tersebut kosong. Syekh Muhammad Said meninggal setelah berada dalam tahanan selama 26 bulan. Jenazahnya kemudian digotong oleh rakyat secara estafet untuk dikembalikan ke Dayah Tanoh Abee.
Kepemimpinan Dayah Tanoh Abee kemudian diteruskan anak Syekh Muhammad Said, yaitu Teungku Muhammad Ali al Baghdady. Sebagai putra yang dilahirkan dalam dentuman perang, Teungku Muhammad Ali sama sekali tidak menerima pendidikan Islam seperti pendahulunya. Ia juga tidak mampu membaca huruf Arab meskipun cekatan dalam membaca kitab-kitab berbahasa Melayu.
Setelah banyaknya dayah-dayah di Aceh seperti Dayah Lambirah, Dayah Indrapuri, Dayah Rumpet, dan Dayah Lam Diran dihancurkan Belanda, Teungku Muhammad Ali berinisiatif mengungsikan sepuluh ribu kitab di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee. Sebagian kitab-kitab tersebut diberikan kepada orang-orang kampung sekitar untuk disimpan agar tidak direbut Belanda, sementara ribuan lainnya diboyong ke pedalaman Tangse.
Evakuasi ribuan kitab tersebut menggunakan tujuh ekor kuda. Namun saat Teungku Muhammad Ali hendak menuju Keumala, ia terpaksa menyembunyikan kitab-kitab tersebut di dalam sebuah gua yang jauhnya dari Tanoh Abee hanya sekitar 30 kilometer. Tidak jauh dari gua tersebut terdapat sebuah kampung kecil, Teurebeh. Kepada penduduk kampung tersebutlah ribuan kitab itu diamanahkan.
Sepekan setelah Teungku Muhammad Ali hijrah, Belanda lantas membumihanguskan Dayah Tanoh Abee termasuk Kutubkhanah yang terkenal itu. Teungku Muhammad Ali yang kemudian menggabungkan diri bersama pasukan mujahidin akhirnya berhasil ditangkap Belanda. Ia kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.
Setelah lima tahun menjadi tahanan politik Teungku Muhammad Ali dikembalikan ke Aceh. Usaha pertamanya sekembali ke Aceh adalah membangun kembali Dayah Tanoh Abee termasuk membina semula perpustakaan. Kitab-kitab yang disimpan di gua dan dititipkan pada orang kampung diambil kembali. Namun sebagian besar kitab-kitab tersebut telah lapuk dan dimakan rayap.
Teungku Muhammad Ali yang berhasil membangun kembali Dayah Tanoh Abee beserta perpustakaannya kemudian meninggal pada 1969.
+++
SETELAH kemerdekaan, banyak kitab-kitab yang ada di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee dihibahkan ke Dayah Bitai. Ada juga sebagian kitab yang dititipkan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Namun saat tsunami menghancurkan Aceh, kitab-kitab yang ada di sana ikut hilang disapu gelombang.
Selain itu, ada pula kitab-kitab yang dikuburkan oleh pemimpin Dayah Tanoh Abee karena takut akan membuat masyarakat awam menjadi murtad. Pasalnya, isi-isi ilmu kitab ini sangat tinggi dan tidak bisa dipahami oleh manusia biasa.
Saat ini Dayah Tanoh Abee dan perpustakaannya masih berdiri tegak di lembah Krueng Aceh. Di sana masih banyak terdapat manuskrip-manuskrip kuno yang sekadar menjadi koleksi Perpustakaan Dayah Tanoh Abee. Hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum di bawah pengawasan Ummi Tanoh Abee atau Bang Fit, penerus keluarga Al Fairusi. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian.
Ummi Tanoh Abee menjelaskan ada beberapa kitab yang memang sama sekali tidak bisa disentuh oleh orang umum, bahkan keluarga Al Fairusi sendiri. Menurut Ummi, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. “Ini wasiat Abu, tapi ada juga yang memang sudah lapuk dimakan usia,” katanya kepada ATJEHPOST, Kamis, 15 Januari 2015.
Ummi mengatakan saat ini sudah ada penambahan dua ribu hingga tiga ribu kitab baru yang berhasil ditulis ulang dan menjadi koleksi di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
“Na dua ribee, lhee ribee atra baroe. Sementara katalog yang ka leuh ta suson na 300. Nyoe ta atoe bacut-bacut sesuai operasional (ada dua ribu, tiga ribu kitab baru. Sementara katalog yang sudah disusun sebanyak 300. Ini kita atur sedikit demi sedikit sesuai operasional),” katanya.
Ummi juga mengatakan koleksi manuskrip kuno di Tanoh Abee masih banyak jika dibandingkan di dayah-dayah lainnya. Namun banyak di antara manuskrip tersebut belum dibersihkan sehingga diasingkan ke suatu tempat dan tidak dipajang di perpustakaan.
“Na chit yang saboh lemari nyan hana lon mat sama sekali lom. Pajan ta jak keuno mangat sama-sama ta peu gleh? (Ada juga yang di salah satu lemari dalam perpustakaan yang belum saya pegang sama sekali. Kapan kesini biar sama-sama kita bersihkan?),” katanya lagi.
Melalui sambungan telepon, Ummi Tanoh Abee mengeluhkan kurangnya kepedulian pemerintah untuk operasional perpustakaan tertua di Asia Tenggara tersebut. Ia menuturkan pemerintah sering datang hanya membawa tamu tapi enggan memberikan bantuan.
“Watee na peureulee dijak, tapi hana manfaat sapeu keu tanyoe. Watee peureulee keu lon baroe dimeurumpok. Kadang-kadang lon ka palak chit sebab ka di peuget lon lagee raket bak pisang lam ie raya. Meu peng makan minum hana dijok meubacut untuk perawatan kitab-kitab nyoe. Kadang-kadang na chit teupikee untuk lon tot kitab-kitab nyoe, kon hana soe jeut larang karena kitab nyoe atra kamoe (Waktu diperlukan datang kemari, tapi tidak ada manfaat sama sekali untuk kita. Waktu memerlukan saya baru dijumpai. Terkadang saya kesal sebab sudah dibuat seperti rakit pisang dalam banjir bandang. Uang makan minum saja tidak diberikan untuk perawatan kitab-kitab ini. Kadang-kadang saya berpikir untuk membakar saja kitab-kitab ini, kan tidak ada yang bisa melarangnya karena kitab ini milik pribadi),” ujarnya.
Namun Ummi mengaku ada juga perwakilan pemerintah yang datang menawarkan dana operasional untuk pemeliharaan kitab. “Na chit pemerintah di jak. Di jok bantuan dengon syarat jeut difotocopy atau didigitalisasi kitab-kitab nyoe. Beujut dipeuget kiban galak-galak droe jih. Nyan yang han lon tem (Ada juga datang pemerintah. Mau memberikan bantuan dengan syarat bisa memfotocopy atau mendigitalisasi kitab-kitab di perpustakaan. Bisa dibuat sesuka hati mereka. Itu yang saya tidak mau),” katanya.
Ummi mengatakan lebih senang kepada orang asing yang datang ke Perpustakaan Tanoh Abee. Pasalnya, kata dia, setiap mereka datang paling tidak memberikan sedikit dana operasional perawatan kitab. “Lon senang chit nyoe dijak mahasiswa karena ditem bantu dipeugleh kitab. Cuma lagee uroe nyan yang sanggup dipeugleh selama seteungoh bulen et 200 boh (Saya senang juga kalau ada mahasiswa yang datang karena mau membantu membersihkan kitab. Cuma mereka hanya sanggup membersihkan selama setengah bulan itu sebanyak 200 buah),” katanya.
Di sisi lain, Umi Tanoh Abe juga kesal dengan beberapa orang yang datang dan mengambil manuskrip di Perpustakaan Tanoh Abee tapi tidak mau mengembalikan kitab tersebut. “Lagee kitab kaligrafi leu yang dicok tapi hana dijok manfaat bacut keu tanyoe (Seperti kitab kaligrafi banyak yang diambil tapi tidak memberikan manfaat sedikit untuk dayah),” ungkapnya.
Informasi yang dikumpulkan ATJEHPOST, perawatan manuskrip kuno memang membutuhkan biaya besar. Selain perlu lem khusus yang tidak mengandung asam, kertas yang digunakan sebagai pelapis naskah harganya mahal. Rata-rata kertas ini didatangkan dari Jepang yang harga satu gulungnya mencapai puluhan juta rupiah. Harga tersebut belum termasuk biaya masuk ke Indonesia.
Sudah sepantasnya Pemerintah Aceh memerhatikan Pustaka Dayah Tanoh Abee yang menyimpan banyak koleksi manuskrip kuno tersebut. Apalagi perpustakaan ini sudah dilakap sebagai perpustakaan tertua di Asia Tenggara. Atau pemerintah menunggu kesabaran Ummi Tanoh Abee habis dan membakar semua manuskrip kuno peninggalan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady?[]
Masih menurut Dr Russel Jones, ada juga kitab yang memakai kertas berbayang merpati dalam lingkaran dengan tulisan Nicolo Polleri Fici Mosso. Menurutnya kertas ini diproduksi di Italia, yang khusus dibuat untuk keperluan Dunia Islam.
Dayah Tanoh Abee di awal pembangunannya didirikan oleh tujuh ulama asal Baghdad, Irak. Mereka datang ke Aceh saat Sultan Iskandar Muda memerintah sekitar 1016-1045 Hijriyah atau tahun 1607-1636 Masehi. Firus Al Baghdady merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara tersebut.
Empat di antara tujuh bersaudara ini kemudian menetap di Wilayah Sagoe XXII Mukim yang diperintah oleh uleebalang terkenal bergelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa. Sementara tiga bersaudara lainnya bermukim di Tiro, Pidie, dan Pasai.
Ketujuh ulama asal Baghdad ini sama sekali tidak memusatkan perhatian kepada pemerintahan. Mereka lebih menyorot bidang pendidikan dengan membangun pusat-pusat pendidikan Islam yang disebut zawiyah. Penyebutan nama zawiyah ini kemudian hari berubah menjadi dayah atau deah dalam lidah Aceh.
Firus Al Baghdady bersama tiga saudaranya kemudian membangun pusat pendidikan di Gampong Tanoh Abee dalam wilayah Sagoe XXII Mukim. Dayah ini kemudian dikenal sebagai Dayah Tanoh Abee yang menjadi salah satu pembina dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Firus Al Baghdady sebagai anak tertua menjadi pemimpin di Dayah Tanoh Abee. Ia menikah dengan salah satu putri ulama dari Aceh dan dikaruniai delapan orang anak. Tiga diantara anaknya seperti Nayan, Molek dan Hana Purba mengikuti jejaknya menjadi ulama di Aceh. Merekalah yang kemudian hari melanjutkan pembinaan Dayah Tanoh Abee.
Setelah Firus Al Baghdady meninggal, Dayah Tanoh Abee kemudian dipimpin oleh Syekh Nayan Firusi Al Baghdady. Sebelum pucuk pimpinan diberikan kepadanya, Nayan terlebih dahulu dikirim untuk melanjutkan pendidikan ke Dayah Leupue di Peunayong. Dayah ini merupakan salah satu dayah tertua dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang masa itu dipimpin Syekh Daud (Baba Daud) ar Rumy. Dia merupakan salah satu ulama yang berasal dari Kerajaan Turki Utsmaniyah.
Selain belajar dari Syekh Daud Ar Rumi, Nayan juga belajar dari Syekh Burhanuddin Ulakan di Dayah Leupue. Setelah mendapatkan ijazah dari Dayah Leupue, Nayan kembali ke wilayah Sagoe XXII Mukim dan menggantikan orang tuanya untuk memimpin Dayah Tanoh Abee.
Nayan juga mendapatkan kepercayaan dari Panglima Polem Sri Muda Perkasa untuk menjadi Kadi Rabbul Jalil (Hakim Tinggi) di Sagoe XXII Mukim. Di masa kepemimpinannya, Nayan juga membuka lokasi baru di Tuwi Ketapang dekat dengan Krueng Aceh. Lokasi baru ini kemudian menjadi tempat pendidikan bagi santri pria sementara di lokasi lama Dayah Tanoh Abee dikhususkan untuk putri.
Pengganti Syekh Nayan adalah putranya, Syekh Abdul Hafidh Al Baghdady. Saat itu Dayah Tanoh Abee sudah menjelma menjadi pusat pendidikan Islam yang menghasilkan ulama-ulama terkenal. Di antara lulusan dayah ini kemudian ada yang bekerja di bidang pemerintahan ataupun di bidang pendidikan.
Di dayah ini juga sudah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan seperti fikih/hukum Islam, termasuk fikih dusturi (hukum tata negara), fikih dualy (hukum internasional), sejarah (termasuk sejarah Islam), akhlak/tasawuf, hisab dan ilmu falak, filsafat/ilmu kalam, mantik/logika, tafsir dan hadis.
Kepemimpinan Dayah Tanoh Abee kemudian berganti ke tangan putra Syekh Abdul Hafidh, yaitu Syekh Abdurrahim Hafidh Al Baghdady. Masa kepemimpinannya lebih memfokuskan pada pembinaan dan pengembangan perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
Kutubkhanah yang telah dibangun oleh leluhurnya Syekh Firusi Al Baghdady dikembangkan dan diperbesar dengan mengumpulkan kitab-kitab dari seluruh negara. Untuk memperkaya perpustakaannya, Syekh Abdurrahim turut memesan kitab hingga ke Timur Tengah dan Turki.
Dia lantas menganjurkan semua pelajar di Dayah Tanoh Abee untuk menyalin kitab-kitab yang telah ada, sehingga karenanya pelajaran tulisan Arab (kaligrafi Arab) lebih ditingkatkan. Atas kebijakan tersebut lah diketahui jasa Syekh Abdurrahim dalam pengembangan perpustakaan ini besar sekali.
Dayah Tanoh Abee kemudian dipimpin Syekh Muhammad Saleh, putra tunggal Syekh Abdurrahim. Di masanya tidak banyak perubahan yang dilakukan. Dia lebih cenderung menjaga dan merawat Dayah Tanoh Abee seperti yang telah ditinggalkan oleh leluhurnya. Kepemimpinan Muhammad Saleh tidak begitu lama. Ia kemudian digantikan putranya, Syekh Abdul Wahab al Baghdady.
Syekh Abdul Wahab yang dikirim ke Mekkah dan Madinah untuk memperdalam berbagai ilmu termasuk kaligrafi. Selama di Mekkah ia menyibukkan diri menyalin kitab-kitab dengan tangannya sendiri. Hasil salinannya kemudian dibawa ke Aceh dan menjadi koleksi tambahan di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
Di masa kepemimpinan Syekh Abdul Wahab koleksi kitab di Dayah Tanoh Abee sudah mencapai sepuluh ribu judul, yang satu judul terdiri dari beberapa jilid.
“Abdul Wahab sebagai Teungku Chik Tanoh Abee betul-betul telah membina pusat pendidikan Islam itu menjadi salah satu pusat pendidikan yang terkenal di Asia Tenggara, sementara kutubkhanah (perpustakaan) yang dibinanya telah menjadi sasaran penelitian dan pengajian para sarjana internasional,” tulis Ali Hasjmy.
Di masa Syekh Abdul Wahab memimpin dayah, seperti pendahulunya ia juga diangkat menjadi Kadi Rabbul Jalil. Namun saat itu pula terjadi penyerangan oleh Belanda terhadap Kerajaan Aceh Darussalam yang menyebabkan ulama-ulama, termasuk Syekh Abdul Wahab ikut serta dalam Komando Perang Jihad XXII Mukim di bawah kepemimpinan Teungku Cik Muhammad Saman Tiro.
Ia syahid dalam peperangan tersebut dengan meninggalkan 33 anak dari empat orang istrinya. Dari 33 anaknya tersebut hanya satu orang yang kemudian muncul sebagai ulama besar penerus kepemimpinan Dayah Tanoh Abee. Dia adalah Syekh Muhammad Said al Baghdady. Sementara anak-anak Syekh Abdul Wahab yang lainnya terus menggelorakn perang sabil melawan Belanda.
Semasa kepemimpinan Syekh Muhammad Said al Baghdady, Dayah Tanoh Abee turut menjadi pusat penempaan semangat perang jihad. Meskipun begitu Teungku Cik Tanoh Abee Muhammad Said masih sempat mengajar para pelajar ilmu-ilmu Islam, baik agama ataupun umum. Muhammad Said juga masih sempat menulis Alquranul Karim dan kitab-kitab agama lainnya dengan tangannya yang cekatan dan sekarang masih tersimpan di dalam Perpustakaan Tanoh Abee.
Dayah Tanoh Abee, sama dengan dayah-dayah lainnya di Aceh, yang telah berubah menjadi Markas Perang Sabil kemudian menjadi sasaran penyerangan oleh Belanda. Saat itu, Belanda berhasil menangkap Syekh Muhammad Said dan membawanya ke Banda Aceh untuk ditahan di penjara Keudah.
Namun usai serangan tersebut, prajurit-prajurit Belanda tidak ada yang berani menduduki Dayah Tanoh Abee. Mereka sepakat meninggalkan dayah tersebut kosong. Syekh Muhammad Said meninggal setelah berada dalam tahanan selama 26 bulan. Jenazahnya kemudian digotong oleh rakyat secara estafet untuk dikembalikan ke Dayah Tanoh Abee.
Kepemimpinan Dayah Tanoh Abee kemudian diteruskan anak Syekh Muhammad Said, yaitu Teungku Muhammad Ali al Baghdady. Sebagai putra yang dilahirkan dalam dentuman perang, Teungku Muhammad Ali sama sekali tidak menerima pendidikan Islam seperti pendahulunya. Ia juga tidak mampu membaca huruf Arab meskipun cekatan dalam membaca kitab-kitab berbahasa Melayu.
Setelah banyaknya dayah-dayah di Aceh seperti Dayah Lambirah, Dayah Indrapuri, Dayah Rumpet, dan Dayah Lam Diran dihancurkan Belanda, Teungku Muhammad Ali berinisiatif mengungsikan sepuluh ribu kitab di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee. Sebagian kitab-kitab tersebut diberikan kepada orang-orang kampung sekitar untuk disimpan agar tidak direbut Belanda, sementara ribuan lainnya diboyong ke pedalaman Tangse.
Evakuasi ribuan kitab tersebut menggunakan tujuh ekor kuda. Namun saat Teungku Muhammad Ali hendak menuju Keumala, ia terpaksa menyembunyikan kitab-kitab tersebut di dalam sebuah gua yang jauhnya dari Tanoh Abee hanya sekitar 30 kilometer. Tidak jauh dari gua tersebut terdapat sebuah kampung kecil, Teurebeh. Kepada penduduk kampung tersebutlah ribuan kitab itu diamanahkan.
Sepekan setelah Teungku Muhammad Ali hijrah, Belanda lantas membumihanguskan Dayah Tanoh Abee termasuk Kutubkhanah yang terkenal itu. Teungku Muhammad Ali yang kemudian menggabungkan diri bersama pasukan mujahidin akhirnya berhasil ditangkap Belanda. Ia kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.
Setelah lima tahun menjadi tahanan politik Teungku Muhammad Ali dikembalikan ke Aceh. Usaha pertamanya sekembali ke Aceh adalah membangun kembali Dayah Tanoh Abee termasuk membina semula perpustakaan. Kitab-kitab yang disimpan di gua dan dititipkan pada orang kampung diambil kembali. Namun sebagian besar kitab-kitab tersebut telah lapuk dan dimakan rayap.
Teungku Muhammad Ali yang berhasil membangun kembali Dayah Tanoh Abee beserta perpustakaannya kemudian meninggal pada 1969.
+++
SETELAH kemerdekaan, banyak kitab-kitab yang ada di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee dihibahkan ke Dayah Bitai. Ada juga sebagian kitab yang dititipkan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Namun saat tsunami menghancurkan Aceh, kitab-kitab yang ada di sana ikut hilang disapu gelombang.
Selain itu, ada pula kitab-kitab yang dikuburkan oleh pemimpin Dayah Tanoh Abee karena takut akan membuat masyarakat awam menjadi murtad. Pasalnya, isi-isi ilmu kitab ini sangat tinggi dan tidak bisa dipahami oleh manusia biasa.
Saat ini Dayah Tanoh Abee dan perpustakaannya masih berdiri tegak di lembah Krueng Aceh. Di sana masih banyak terdapat manuskrip-manuskrip kuno yang sekadar menjadi koleksi Perpustakaan Dayah Tanoh Abee. Hanya beberapa kitab saja yang diperbolehkan dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum di bawah pengawasan Ummi Tanoh Abee atau Bang Fit, penerus keluarga Al Fairusi. Selebihnya tersimpan rapat di dalam perpustakaan yang juga digunakan sebagai tempat pengajian.
Ummi Tanoh Abee menjelaskan ada beberapa kitab yang memang sama sekali tidak bisa disentuh oleh orang umum, bahkan keluarga Al Fairusi sendiri. Menurut Ummi, hal ini sudah menjadi wasiat dari mendiang Abu Tanoh Abee. “Ini wasiat Abu, tapi ada juga yang memang sudah lapuk dimakan usia,” katanya kepada ATJEHPOST, Kamis, 15 Januari 2015.
Ummi mengatakan saat ini sudah ada penambahan dua ribu hingga tiga ribu kitab baru yang berhasil ditulis ulang dan menjadi koleksi di Perpustakaan Dayah Tanoh Abee.
“Na dua ribee, lhee ribee atra baroe. Sementara katalog yang ka leuh ta suson na 300. Nyoe ta atoe bacut-bacut sesuai operasional (ada dua ribu, tiga ribu kitab baru. Sementara katalog yang sudah disusun sebanyak 300. Ini kita atur sedikit demi sedikit sesuai operasional),” katanya.
Ummi juga mengatakan koleksi manuskrip kuno di Tanoh Abee masih banyak jika dibandingkan di dayah-dayah lainnya. Namun banyak di antara manuskrip tersebut belum dibersihkan sehingga diasingkan ke suatu tempat dan tidak dipajang di perpustakaan.
“Na chit yang saboh lemari nyan hana lon mat sama sekali lom. Pajan ta jak keuno mangat sama-sama ta peu gleh? (Ada juga yang di salah satu lemari dalam perpustakaan yang belum saya pegang sama sekali. Kapan kesini biar sama-sama kita bersihkan?),” katanya lagi.
Melalui sambungan telepon, Ummi Tanoh Abee mengeluhkan kurangnya kepedulian pemerintah untuk operasional perpustakaan tertua di Asia Tenggara tersebut. Ia menuturkan pemerintah sering datang hanya membawa tamu tapi enggan memberikan bantuan.
“Watee na peureulee dijak, tapi hana manfaat sapeu keu tanyoe. Watee peureulee keu lon baroe dimeurumpok. Kadang-kadang lon ka palak chit sebab ka di peuget lon lagee raket bak pisang lam ie raya. Meu peng makan minum hana dijok meubacut untuk perawatan kitab-kitab nyoe. Kadang-kadang na chit teupikee untuk lon tot kitab-kitab nyoe, kon hana soe jeut larang karena kitab nyoe atra kamoe (Waktu diperlukan datang kemari, tapi tidak ada manfaat sama sekali untuk kita. Waktu memerlukan saya baru dijumpai. Terkadang saya kesal sebab sudah dibuat seperti rakit pisang dalam banjir bandang. Uang makan minum saja tidak diberikan untuk perawatan kitab-kitab ini. Kadang-kadang saya berpikir untuk membakar saja kitab-kitab ini, kan tidak ada yang bisa melarangnya karena kitab ini milik pribadi),” ujarnya.
Namun Ummi mengaku ada juga perwakilan pemerintah yang datang menawarkan dana operasional untuk pemeliharaan kitab. “Na chit pemerintah di jak. Di jok bantuan dengon syarat jeut difotocopy atau didigitalisasi kitab-kitab nyoe. Beujut dipeuget kiban galak-galak droe jih. Nyan yang han lon tem (Ada juga datang pemerintah. Mau memberikan bantuan dengan syarat bisa memfotocopy atau mendigitalisasi kitab-kitab di perpustakaan. Bisa dibuat sesuka hati mereka. Itu yang saya tidak mau),” katanya.
Ummi mengatakan lebih senang kepada orang asing yang datang ke Perpustakaan Tanoh Abee. Pasalnya, kata dia, setiap mereka datang paling tidak memberikan sedikit dana operasional perawatan kitab. “Lon senang chit nyoe dijak mahasiswa karena ditem bantu dipeugleh kitab. Cuma lagee uroe nyan yang sanggup dipeugleh selama seteungoh bulen et 200 boh (Saya senang juga kalau ada mahasiswa yang datang karena mau membantu membersihkan kitab. Cuma mereka hanya sanggup membersihkan selama setengah bulan itu sebanyak 200 buah),” katanya.
Di sisi lain, Umi Tanoh Abe juga kesal dengan beberapa orang yang datang dan mengambil manuskrip di Perpustakaan Tanoh Abee tapi tidak mau mengembalikan kitab tersebut. “Lagee kitab kaligrafi leu yang dicok tapi hana dijok manfaat bacut keu tanyoe (Seperti kitab kaligrafi banyak yang diambil tapi tidak memberikan manfaat sedikit untuk dayah),” ungkapnya.
Informasi yang dikumpulkan ATJEHPOST, perawatan manuskrip kuno memang membutuhkan biaya besar. Selain perlu lem khusus yang tidak mengandung asam, kertas yang digunakan sebagai pelapis naskah harganya mahal. Rata-rata kertas ini didatangkan dari Jepang yang harga satu gulungnya mencapai puluhan juta rupiah. Harga tersebut belum termasuk biaya masuk ke Indonesia.
Sudah sepantasnya Pemerintah Aceh memerhatikan Pustaka Dayah Tanoh Abee yang menyimpan banyak koleksi manuskrip kuno tersebut. Apalagi perpustakaan ini sudah dilakap sebagai perpustakaan tertua di Asia Tenggara. Atau pemerintah menunggu kesabaran Ummi Tanoh Abee habis dan membakar semua manuskrip kuno peninggalan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady?[]
loading...
Post a Comment