Sebenarnya sudah sering sekali
pemaparan sepetti ini kita tulis di media cetak atau kita bicarakan secara
lisan, tapi masih ada juga yang tak mengerti kejelasan dari isi MoU Helsinki yang telah
ditanda tangani oleh GAM dan RI.
Orang yang paling sering menjelaskan
hal ini adalah Nur Djuli, memang dari segi teknis, beliau adalah orang yang
paling tepat untuk menjelaskan masalah MoU kepada publik.
Dulu Team PENA juga pernah memuat pembicaraan beliau didalam media sosial Facebook kedalam media cetak PENA.
Kini kami
tampilkan kembali pembicaraan beliau dalam media sosial itu kedalam bentuk
tulisan di media cetak.
Tujuan kami
tidak ada lain, kami berharap dengan tampilnya tulisan seperti ini, agar lebih
mencerahkan lagi pikiran anda tentang isi MoU dan kami berharap juga agar anda
bisa mencerna lebih banyak lagi arti atau maka dari isi MoU itu.
Terlebih
lagi, kami berharap agar kedepan, anda yang ragu atau tak mengerti isi MoU agar
bertanya pada Syehnya, buan pada penonton, karena Syehnya sudah tentu lebih mengetahui
isi syair yang mereka telah lantunkan.
Yang kita
lihat selama ini, kebanyakan penonton yang berkoar-koar tentang MoU itu,
sehingga banyak silapnya waktu ditanggapi oleh penonton lain. Akhirnya si
penonton yang lain ini akan menyalahkan syair yang telah dilantunkan oleh
penonton pertama. Dan akan menyimpulkan bahwa syair itu adalah salah total dan
yang membuat syair itu orang salah djieb ubat (salah minum obat)
TAK PANDAI MENARI DIKATAKAN LANTAI
BERJUNGKAT
TEAM ACEH DAN MODERATOR |
Sebenarnya tidak
ada yang tersembunyi atau terselubung dalam MoU Helsinki, semua jelas tertulis.
Coba baca baris pertama: "Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara
damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua".
Jadi apa
lagi yang tidak jelas di sini, apakah yang dlihat sebagai perbedaan penafsiran
dan apanya yang berbeda?
Nur Djuli setuju
sekali bahwa masih banyak poin-poin MoU yang belum dilaksanakan. Hal itu bukan berarti
tidak difahami atau ditafsirkan berbeda, tetapi tidak dilaksanakan. Banyak
poin-poin UUPA yang tujuannya adalah untuk melaksanakan MoU berbeda atau
bertentangan dengan MoU.
Ini terjadi
karena draft UUPA itu dibuat oleh anggota-anggota DPR RI asal Aceh, yang bertujuan
menjaga kepentingan mereka sendiri (seperti pada mulanya PILKADA langsung untuk
Aceh hanya sekali, yang tentu saja bertentangan dengan MoU pasal 1.1.2.
Celakanya, orang di Partai Aceh waktu itu juga mempertahankan UUPA yang katanya
"sakral" atau ”harga mati”, bukannya MoU. Untung ada kawan-kawan
dari Partai SIRA yang bawa ke MK). Draft UUPA yang saya buat dengan kawan-kawan
SIRA, draft dari 4 Universitas Aceh, draft dari PEMDA (Azwar Abubakar) semua
diketepikan.
Kesimpulannya,
kalau orang Aceh sendiri lebih mementingkan kepentingan kelompok dari bangsa,
maka hasilnya beginilah, ujung-ujung salahkan MoU Helsinki. Kata orang Melayu ”Tidak Pandai Menari Dikatakan Lantai Berjungkat”.
Soal bendera dan lain lain sebenarnya adalah soal yang
paling simpel, tetapi kita sendiri yang membuat masalah itu menjadi rumit. Dalam
MoU sudah jelas ada enam otoritas yang Aceh BERIKAN pada Pemerintah Pusat
(pasal 1.1.2a: "Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam SEMUA sektor
publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan
peradilan, KECUALI dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan
nasional, kekuasaan kehakiman, hal ikhwal moneter dan fiskal, dan kebebasan
beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan Konstitusi".
Soal bendera: apakah itu termasuk dalam otoritas yang
6 itu? Kalau tidak
maka mengapa begitu bodoh minta izin Pemerintah Pusat untuk menaikkannya?
Kalau tidak dibenarkan oleh UUPA, UUPA itulah yang harus diubah karena
bertentangan dengan MoU.
UUPA dibuat untuk menterjemahkah MoU dakam
undang-undang supaya bisa dilaksanakan. Kalau terjemahan tidak sesuai dengan teks asli, apakah teks
asli yang tidak betul? MoU hanya perlu patuh kepada KONSTITUSI, bukan pada UU
lain, apalagi pada kehendak Mendagri.
Kalau yang
sudah hak kita masih kita pergi mengemis ke Jakarta, maka salah siapa? Kalau
hal-hal begini saja masih tidak mau mengerti, mau bagaimana lagi? Nur Djuli melihat kawan-kawan begitu pandai
berdebat di media sosial, tetapi mengapa
susah sekali memahami hal yang begini simpel? Sudahkan anda membaca
MoU atau hanya dengar-dengar saja?
Pasal 2.3
MoU: "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan
upaya rekonsiliasi". KKR RI telah lahir dengan UU no. 27/2004. Tetapi UU
ini telah dibatalkan oleh MK atas permintaan beberapa Ormas HAM karena adanya
sebuah kalimat yang dikuatirkan akan menghilangkan hak konstitusi para korban
untuk menuntut pelanggar HAM ke pengadilan. Namun Pemerintah RI sampai sekarang belum
mengajukan UU ini kembali ke DPR untuk disahkan hanya dengan mencoret satu
kalimat tersebut, Jelas ada pressure terhadap Pemerintah RI untuk tidak membuat UU ini kembali.
Baru-baru ini
ada usaha membentuk KKR lokal di Aceh, dan kalau saya tak salah, Qanun KKR Aceh
sudah disahkan oleh DPRA. Secara pribadi saya tidak setuju hal ini karena ini
memberi kesempatan pada Pemerintah RI untuk cuci tangan dalam hal pelanggaran HAM berat
di Aceh oleh alat negara RI. Kalau hanya KKR lokal, apakah mungkin Pemerintah
Aceh, tanpa penyertaan Pemerintah Pusat, untuk meminta tanggungjawab dari para
pelanggar HAM alat negara RI? Jadinya kita terperangkap dalam jerat sendiri. Nur
Djuli merasa keliru dalam hal ini dan Qanun KKR lokal bisa mencapai
tujuan seperti yang diharapkan, yaitu paling kurang memberi kompensasi kepada
para korban, Pasal 1.3.4:
"Aceh berhak MENGUASAI 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan
sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah
Aceh maupun laut territorial sekitar Aceh".
Ketika Pemerintahan Irwandi, timbul masalah tentang jumlah hasil yang harus dibagi.
Kita semua mengetahui, kalau hasilnya 1.000 ton dibilang hanya 100, Aceh hanya akan
dapat 70 ton, bukan 700. Hal ini sudah kami antisipasi di Helsinki, makanya
dalam artikel 1.3.8, ditentutakan: "Pemerintah RI bertekad untuk
menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara
Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi
atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Pemerintah
Aceh".
Penunjukan auditor luar ini masih selalu ditolak oleh Pemerintah
Pusat dan karenanya pembagian hasil Migas tidak dapat dilaksanakan. Itu yang
saya ketahui ketika saya masih sedikit terlibat dalam Pemerintahan Aceh sebagai Ketua BRA. Dalam hal ini
Nur Djuli tidak mengetahui bagaimana situasinya sekarang.
Soal
perbedaan antara "Kesepahaman" dan "Perjanjian", Nur Djuli mengutip kata-kata Ahtisaari: "Tidak ada
kuasa di dunia ini yang bisa memaksa pelaksanaan sebuah perjanjian walaupun
dibuat sedetail-detailnya, kalau ada pihak yang tidak ikhlas melaksanakannya
dengan jujur". MoU ini yang ditandatangani oleh wakil para pihak
di depan mata seluruh dunia, dan kemudian disahkan oleh DPR-RI, adalah sebuah
dokumen yang menyatakan komitmen bulat kedua belah pihak untuk melaksanakannya.
Kalau satu pihak gagal melaksanakannya maka ini akan memberi hak kepada pihak
yang lain untuk tidak mematuhinya juga, kalau itu terjadi maka berakhirlah
kesepakatan ini (MoU Helsinki-red). Itukah yang dikehendaki Pemerintah Pusat atau kita di Aceh?
Akhirnya Nur Djuli berharap agar kita tidak seharusnya
jangan mau dihanyutkan oleh kata-kata semu ketika garisan yang jelas kedudukannya
sudah ada.
Ketika DPR RI mengesahkannya maka disitulah letak
kekuatan hukumnya. DPR itu adalah PEMBUAT hukum Indonesia. MOU Helsinki
disahkan dengan suara bulat, tanpa oposisi dan tanpa perubahan. dengan
sendirnya itu menjadi kewajiban Pemerintah menjakankannya.
Yang buat UU itu kan DPR, pemerintah, apalagi para
perunding RI tidak punya wewenang untuk bikin UU. Kami percaya bahwa
Kesepahaman itu akan disahkan oleh DPR karena waktu itu majoritas di DPR adalah
GOLKAR dan DEMOKRAT, dua-duanya partai yang memerintah yang teken MOU.
Kita juga
harus melihat kondisi di lapangan. Lebih 200 000 rakyat sudah syahid dalam
tsunami, ratusan ribu lagi terancam kelaparan karena bantuan tidak bisa masuk
dengan lancar akibat adanya konflik, 50 000 TNI bertindak sesuka hati di
seluruh pelosok Aceh. Apakah kita punya banyak pilihan sebagai alternatif dari
berdamai? Sekarang Aceh sudah damai, penerintahan kita pegang sendiri, anda
semua bisa debat bebas di FB, bisa demo...
loading...
Post a Comment