SATU kompensasi pemerintah pusat yang diberikan kepada Aceh dalam upaya penyelesaian konflik pasca MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus). Merujuk Pasal 183 ayat (2), pemerintah Aceh mendapatkan Dana Otsus setara 2% pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional mulai 2008 sampai 2022. Selanjutnya selama 2023 sampai 2028 besaran Dana Otsus yang akan diterima pemerintah Aceh setara 1% pagi DAU Nasional.
Jika direkapitulasi Dana Otsus yang sudah diterima pemerintah Aceh sejak 2008 sampai 2015 sudah mencapai Rp 41,26 triliun. Sedangkan sampai 2027 nanti, diperkirakan Dana Otsus yang bakal diterima pemerintah Aceh sebesar Rp 144,75 triliun. Berarti sampai saat ini, dana yang sudah diterima mencapai 28,5% dari keseluruhan Dana Otsus yang bakal diterima. Pertanyaannya, sejauhmana perubahan signifikan yang terjadi di Aceh setelah dikucurkannya Dana Otsus tersebut?
Tujuan pemberian Dana Otsus ini, merujuk pada UUPA Pasal 183 ayat (1) adalah untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dalam Qanun Aceh No.2 Tahun 2008 dan perubahannya (Qanun Aceh No.2 Tahun 2013), penggunaan Dana Otsus dijelaskan dalam Pasal 10 dengan penambahan program pembangunan dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh. Prioritas pemanfaatan yang jelas semestinya mempermudah monitoring dan evaluasi penggunaannya. Sejak diterimanya Dana Otsus sampai sekarang, perkembangan apa saja terkait dengan program-program pembangunan tersebut.
Pengentasan kemiskinan
Terkait pengentasan kemiskinan misalnya, pada 2008 persentase penduduk miskin di Aceh adalah 23,53%. Persentase ini memang terus menurun setiap tahunnya, sehingga pada 2014 menjadi 18,05% (Aceh Dalam Angka, 2014). Data ini yang mungkin mendasari klaim Kepala Bappeda Aceh Prof Dr Abubakar Karim MS tentang peran Dana Otsus dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Aceh, seraya menyebut data kemiskinan yang agak berbeda, 23,03% pada 2008 dan 16,98% pada 2014. Ia membandingkan juga data penurunan pengangguran dari 9,56% pada 2008 menjadi 7,10% pada 2014 (Tabloid Tabangun Aceh, Agustus 2015).
Klaim manfaat Dana Otsus tersebut barangkali akan diterima jika hanya melihat data-data di Aceh. Akan menjadi lain sikap kita, bila membandingkan dengan data-data daerah lain seperti Provinsi Sumatera Utara (Sumut), misalnya. Untuk kurun waktu yang hampir sama, jumlah penduduk miskin Sumut 12,55% pada Maret 2008 dan 10,39% pada September 2013 (Sumatera Utara Dalam Angka, 2014). Sehingga selama kurun waktu tersebut, upaya meminimalisir jumlah penduduk miskin yang dilakukan pemerintah Aceh belum maksimal. Jangankan menyejajarkan dengan kondisi Sumut seperti sekarang, dengan kondisi Sumut 2008 saja belum bisa disamai dengan capaian Aceh sekarang.
Padahal Aceh tengah mengalami booming anggaran. Dibanding APBD Sumut, nilai APBA pasca dikucurkannya Dana Otsus jauh lebih besar. Pada 2009 nilai APBA Rp 9,7 triliun, sementara APBD Sumut tidak mencapai separuhnya, yakni Rp 3,896 triliun. Tahun berikutnya, APBA 2010 Rp 7,638 triliun, sementara APBD Sumut hanya Rp 3,832 triliun. Sampai 2014 lalu, ketika APBA mencapai Rp 13,368 triliun, APBD Sumut baru mencapai Rp 8,4 triliun. Di sisi lain, luas wilayah Aceh yang 56.770,81 km2 dengan jumlah penduduk 4.792 juta jiwa masih lebih kecil dari Sumut dengan luas wilayah 71.680,68 km2 dan jumlah penduduk 13.326 juta jiwa.
Sejumlah indikator ekonomi Aceh jika dibandingkan dengan provinsi lain se-Sumatera juga masih menunjukkan kondisi kurang menggembirakan. Data 2013, persentase penduduk miskin Aceh sebesar 17,60% hanya lebih baik dari Bengkulu yang besarnya 18,34%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh 73,05 juga nomor dua terendah se-Sumatera, setelah Lampung dengan IPM 72,86. Urutan nomor dua terendah se-Sumatera juga terjadi untuk laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh sebesar 4,18%, hanya lebih baik dari Riau yang 2,61%. L
Akan terasa lebih memprihatinkan lagi jika disandingkan dengan data rata-rata Nasional. Jumlah penduduk miskin di tingkat Nasional 11,97% dan angka pengangguran 5,68%. Bandingkan dengan data yang disebutkan Abubakar, jumlah penduduk miskin Aceh 16,98% dan angka penganggurannya 7,10%.
Menuai banyak kritk
Capaian pembangunan setelah mendapat kucuran Dana Otsus selama kurun waktu 2008-2015 ini, kesannya baru mengangkat Aceh satu tingkat agar tidak menjadi yang terbelakang se-Sumatera. Manfaat Dana Otsus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, tampaknya baru sebatas mitos yang terus dihembuskan oleh para pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Bukan oleh para penerima manfaat berbagai program yang dibiayai melalui Dana Otsus. Wajar kalau hal ini kemudian menuai banyak kritik dari berbagai pihak, baik dari lingkungan masyarakat Aceh sendiri maupun dari luar.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Dr Ahmad Hatari, saat melakukan kunjungan kerja ke Aceh pada April 2015 lalu, misalnya, menyatakan Dana Otsus belum mampu menjadi stimulus atau pendongkrak ekonomi rakyat, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Bahkan Hatari mengkhawatirkan pembangunan di Aceh bisa terhenti bila tidak ada lagi Dana Otsus. Hal ini didasarkan pada pengamatan terhadap struktur belanja dalam APBA 2015 yang bernilai Rp 12.755 trilium, dengan belanja pegawai dan operasional kantor mencapai Rp 1,6 triliun. Di sisi lain pendapatan asli daerah (PAD) masih rendah, yaitu hanya sekitar 16%.
Kritik lain datang dari lima Rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Universitas Samudera (Unsam) Langsa, dan Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh. Munculnya kritik dari kalangan akademisi ini, menunjukkan sampai saat ini pemerintah Aceh belum optimal dalam penyusunan program dan pelaksanaan pembangunan, termasuk yang dibiayai dengan Dana Otsus.
Padahal di Aceh tercatat ada delapan perguruan tinggi negeri dan swasta yang bisa membantu menyusun program pembangunan, mengevaluasi program, dan lain sebagainya. Substansi utama dari persoalan penggunaan Dana Otsus adalah tentang keprihatinan akan pemanfaatan yang belum optimal karena hal-hal teknis, seperti terlambat tender, penyelesaian pekerjaan, proyek yang kurang berkualitas dan terbengkalai, karena tidak ada anggaran lanjutan untuk penyiapan finishing proyek dan lain-lain.
Reformasi birokrasi
Muara dari kritik pemanfaatan Dana Otsus akan terkait dengan kemampuan pemerintah Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ini, patut dipertanyakan sejauhmana reformasi birokrasi di lingkungan pemerintahan Aceh. Karena pada awal masa pemerintahan Irwandi-Nazar, sempat terbersit harapan ke arah terwujudnya birokrasi yang lebih reformis dengan adanya seleksi terbuka untuk jabatan-jabatan tingkat eselon II. Sayangnya suasana yang awalnya kondusif tersebut tak bisa dipertahankan.
Pada masa pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf ini, sejak awal belum terdengar terobosan strategis dalam pembenahan birokrasi. Yang terjadi, promosi jabatan menjadi sebuah teka-teki yang nyaris sulit diprediksi. Hal ini bisa menimbulkan suasana yang kurang kondusif di lingkungan birokrasi karena ketidakpastian penjenjangan karirnya. Dampak langsung dari situasi ini terhadap pemanfaatan Dana Otsus adalah terkendalanya aliran proses dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan. Proses pergantian pejabat yang tidak transparan dan akuntabel membuat birokrat kurang nyaman bekerja.
Jika kenyamanan bekerja tak bisa dirasakan di lingkungan birokrasi, maka upaya melibatkan semua pihak terkait seperti harapan para akademisi, menjadi kurang optimal. Hasilnya sejak dari perencanaan program, pelaksanaan, monitoring, pelaporan dan evaluasinya menjadi asal-asalan, yang penting terlaksana. Sehingga ketika kita disodori angka-angka capaian pembangunan yang sudah dilaksanakan pemerintah Aceh, khususnya terkait pemanfaatan Dana Otsus, tidak bisa seketika langsung percaya. Bisa jadi meningkatnya kesejahteraan masyarakat Aceh sebagaimana diungkap dalam angka-angka pelaporan tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan hanya mitos belaka. Wallahu a’lam bishawab.
* Drs. Yunardi Natsir, MM., Anggota Komisi III DPRA Fraksi Partai NasDem. Email: yunardi_natsir@yahoo.co.id[dikutip: serambinews.com]
Jika direkapitulasi Dana Otsus yang sudah diterima pemerintah Aceh sejak 2008 sampai 2015 sudah mencapai Rp 41,26 triliun. Sedangkan sampai 2027 nanti, diperkirakan Dana Otsus yang bakal diterima pemerintah Aceh sebesar Rp 144,75 triliun. Berarti sampai saat ini, dana yang sudah diterima mencapai 28,5% dari keseluruhan Dana Otsus yang bakal diterima. Pertanyaannya, sejauhmana perubahan signifikan yang terjadi di Aceh setelah dikucurkannya Dana Otsus tersebut?
Tujuan pemberian Dana Otsus ini, merujuk pada UUPA Pasal 183 ayat (1) adalah untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dalam Qanun Aceh No.2 Tahun 2008 dan perubahannya (Qanun Aceh No.2 Tahun 2013), penggunaan Dana Otsus dijelaskan dalam Pasal 10 dengan penambahan program pembangunan dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh. Prioritas pemanfaatan yang jelas semestinya mempermudah monitoring dan evaluasi penggunaannya. Sejak diterimanya Dana Otsus sampai sekarang, perkembangan apa saja terkait dengan program-program pembangunan tersebut.
Pengentasan kemiskinan
Terkait pengentasan kemiskinan misalnya, pada 2008 persentase penduduk miskin di Aceh adalah 23,53%. Persentase ini memang terus menurun setiap tahunnya, sehingga pada 2014 menjadi 18,05% (Aceh Dalam Angka, 2014). Data ini yang mungkin mendasari klaim Kepala Bappeda Aceh Prof Dr Abubakar Karim MS tentang peran Dana Otsus dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Aceh, seraya menyebut data kemiskinan yang agak berbeda, 23,03% pada 2008 dan 16,98% pada 2014. Ia membandingkan juga data penurunan pengangguran dari 9,56% pada 2008 menjadi 7,10% pada 2014 (Tabloid Tabangun Aceh, Agustus 2015).
Klaim manfaat Dana Otsus tersebut barangkali akan diterima jika hanya melihat data-data di Aceh. Akan menjadi lain sikap kita, bila membandingkan dengan data-data daerah lain seperti Provinsi Sumatera Utara (Sumut), misalnya. Untuk kurun waktu yang hampir sama, jumlah penduduk miskin Sumut 12,55% pada Maret 2008 dan 10,39% pada September 2013 (Sumatera Utara Dalam Angka, 2014). Sehingga selama kurun waktu tersebut, upaya meminimalisir jumlah penduduk miskin yang dilakukan pemerintah Aceh belum maksimal. Jangankan menyejajarkan dengan kondisi Sumut seperti sekarang, dengan kondisi Sumut 2008 saja belum bisa disamai dengan capaian Aceh sekarang.
Padahal Aceh tengah mengalami booming anggaran. Dibanding APBD Sumut, nilai APBA pasca dikucurkannya Dana Otsus jauh lebih besar. Pada 2009 nilai APBA Rp 9,7 triliun, sementara APBD Sumut tidak mencapai separuhnya, yakni Rp 3,896 triliun. Tahun berikutnya, APBA 2010 Rp 7,638 triliun, sementara APBD Sumut hanya Rp 3,832 triliun. Sampai 2014 lalu, ketika APBA mencapai Rp 13,368 triliun, APBD Sumut baru mencapai Rp 8,4 triliun. Di sisi lain, luas wilayah Aceh yang 56.770,81 km2 dengan jumlah penduduk 4.792 juta jiwa masih lebih kecil dari Sumut dengan luas wilayah 71.680,68 km2 dan jumlah penduduk 13.326 juta jiwa.
Sejumlah indikator ekonomi Aceh jika dibandingkan dengan provinsi lain se-Sumatera juga masih menunjukkan kondisi kurang menggembirakan. Data 2013, persentase penduduk miskin Aceh sebesar 17,60% hanya lebih baik dari Bengkulu yang besarnya 18,34%. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh 73,05 juga nomor dua terendah se-Sumatera, setelah Lampung dengan IPM 72,86. Urutan nomor dua terendah se-Sumatera juga terjadi untuk laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh sebesar 4,18%, hanya lebih baik dari Riau yang 2,61%. L
Akan terasa lebih memprihatinkan lagi jika disandingkan dengan data rata-rata Nasional. Jumlah penduduk miskin di tingkat Nasional 11,97% dan angka pengangguran 5,68%. Bandingkan dengan data yang disebutkan Abubakar, jumlah penduduk miskin Aceh 16,98% dan angka penganggurannya 7,10%.
Menuai banyak kritk
Capaian pembangunan setelah mendapat kucuran Dana Otsus selama kurun waktu 2008-2015 ini, kesannya baru mengangkat Aceh satu tingkat agar tidak menjadi yang terbelakang se-Sumatera. Manfaat Dana Otsus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh, tampaknya baru sebatas mitos yang terus dihembuskan oleh para pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Bukan oleh para penerima manfaat berbagai program yang dibiayai melalui Dana Otsus. Wajar kalau hal ini kemudian menuai banyak kritik dari berbagai pihak, baik dari lingkungan masyarakat Aceh sendiri maupun dari luar.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Dr Ahmad Hatari, saat melakukan kunjungan kerja ke Aceh pada April 2015 lalu, misalnya, menyatakan Dana Otsus belum mampu menjadi stimulus atau pendongkrak ekonomi rakyat, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Bahkan Hatari mengkhawatirkan pembangunan di Aceh bisa terhenti bila tidak ada lagi Dana Otsus. Hal ini didasarkan pada pengamatan terhadap struktur belanja dalam APBA 2015 yang bernilai Rp 12.755 trilium, dengan belanja pegawai dan operasional kantor mencapai Rp 1,6 triliun. Di sisi lain pendapatan asli daerah (PAD) masih rendah, yaitu hanya sekitar 16%.
Kritik lain datang dari lima Rektor perguruan tinggi negeri (PTN) di Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Universitas Samudera (Unsam) Langsa, dan Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh. Munculnya kritik dari kalangan akademisi ini, menunjukkan sampai saat ini pemerintah Aceh belum optimal dalam penyusunan program dan pelaksanaan pembangunan, termasuk yang dibiayai dengan Dana Otsus.
Padahal di Aceh tercatat ada delapan perguruan tinggi negeri dan swasta yang bisa membantu menyusun program pembangunan, mengevaluasi program, dan lain sebagainya. Substansi utama dari persoalan penggunaan Dana Otsus adalah tentang keprihatinan akan pemanfaatan yang belum optimal karena hal-hal teknis, seperti terlambat tender, penyelesaian pekerjaan, proyek yang kurang berkualitas dan terbengkalai, karena tidak ada anggaran lanjutan untuk penyiapan finishing proyek dan lain-lain.
Reformasi birokrasi
Muara dari kritik pemanfaatan Dana Otsus akan terkait dengan kemampuan pemerintah Aceh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Ini, patut dipertanyakan sejauhmana reformasi birokrasi di lingkungan pemerintahan Aceh. Karena pada awal masa pemerintahan Irwandi-Nazar, sempat terbersit harapan ke arah terwujudnya birokrasi yang lebih reformis dengan adanya seleksi terbuka untuk jabatan-jabatan tingkat eselon II. Sayangnya suasana yang awalnya kondusif tersebut tak bisa dipertahankan.
Pada masa pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf ini, sejak awal belum terdengar terobosan strategis dalam pembenahan birokrasi. Yang terjadi, promosi jabatan menjadi sebuah teka-teki yang nyaris sulit diprediksi. Hal ini bisa menimbulkan suasana yang kurang kondusif di lingkungan birokrasi karena ketidakpastian penjenjangan karirnya. Dampak langsung dari situasi ini terhadap pemanfaatan Dana Otsus adalah terkendalanya aliran proses dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pembangunan. Proses pergantian pejabat yang tidak transparan dan akuntabel membuat birokrat kurang nyaman bekerja.
Jika kenyamanan bekerja tak bisa dirasakan di lingkungan birokrasi, maka upaya melibatkan semua pihak terkait seperti harapan para akademisi, menjadi kurang optimal. Hasilnya sejak dari perencanaan program, pelaksanaan, monitoring, pelaporan dan evaluasinya menjadi asal-asalan, yang penting terlaksana. Sehingga ketika kita disodori angka-angka capaian pembangunan yang sudah dilaksanakan pemerintah Aceh, khususnya terkait pemanfaatan Dana Otsus, tidak bisa seketika langsung percaya. Bisa jadi meningkatnya kesejahteraan masyarakat Aceh sebagaimana diungkap dalam angka-angka pelaporan tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan hanya mitos belaka. Wallahu a’lam bishawab.
* Drs. Yunardi Natsir, MM., Anggota Komisi III DPRA Fraksi Partai NasDem. Email: yunardi_natsir@yahoo.co.id[dikutip: serambinews.com]
loading...
Post a Comment