AMP - Banyak slogan yang bermunculan menjelang Pemilu, baik itu slogan yang dibikin oleh penyelenggara dan pengawas Pemilu; maupun buah pikir para calon legeslatif yang memperebutkan kursi di DPRK, DPRA, dan DPD. Penulis tak ingin menyebutkan slogan-slogan (nyaris hampir semua sama antara satu dengan yang lain) yang berhamburan di mana-mana. Spanduk dan baliho kampanye bisa kita temui di tiap ruas jalan raya, bahkan di sudut-sudut lorong yang berlubang sekalipun. Juga di pagar masjid dan meunasah (surau).
Namun ada beberapa slogan yang acap kali terdengar hambar di telinga penulis. Baru-baru ini misalnya, penulis kerap mendengar dan membaca kalimat: Mari Kita Wujudkan Pemilu yang Adil dan Damai; atau Pemilu Aman dan Amanah.
Memang tak ada yang salah dari kalimat tersebut. Tapi bila ditelaah lebih dalam, damai, amanah, dan adil, yang seperti apakah yang kita inginkan? Apakah maksud dari Pemilu yang merangkum tiga kata tersebut, dicapai dengan menutup mata terhadap berbagai teror, intimidasi, “politik uang”, dan kecurangan, yang acap kali terjadi dalam setiap Pemilu dan pemilihan gubernur/wakil gubernur serta bupati/wakil bupati, dalam beberapa dekade terakhir?
Tentu saja bukan “mendiamkan” kecurangan atas nama menyukseskan Pemilu yang damai dan adil serta amanah yang kita inginkan, bukan?
“Politik uang”, misalnya, kerap terjadi pada incumbent yang ingin mencalonkan diri lagi pada periode berikutnya. Atau hal itu terjadi pada Caleg yang berasal dari kalangan pemilik modal (oligart).
Penulis pernah mendengar pengumuman di masjid di sebuah gampong (desa) pada saat salat Jumat, yang kira-kira berbunyi seperti ini, “Jamaah salat Jumat yang dimuliakan Allah, telah kami terima sumbangan untuk pembangunan masjid, dari Bapak Pulan, sebesar sekian ratus juta rupiah.”
Selidik punya selidik, uang tersebut rupanya berasal dari dana aspirasi seorang anggota DPR Aceh yang konon ingin mencalonkan diri sekali lagi. Tentu masyarakat awam mengira “si bapak” tersebut sangat darmawan dan pantas dipilih lagi atas kebaikan yang bersangkutan lakukan. Padahal uang yang masjid tersebut peroleh, memang sesuatu yang sudah semestinya didapati sesuai dengan fungsi dana aspirasi itu sendiri yang memang diperuntukkan untuk masyarakat.
Pendidikan politik
Lebih lanjut, Komisi Idependen Pemilihan (KIP) seyogianya tidak hanya mengedukasi para pemilih dengan hanya mengajarkan tata cara mencoblos atau cara masuk ke dalam bilik suara, tahapan-tahapan Pemilu, dan juga dasar hukum Pemilu. Tapi bukankah tidak ada salahnya jika KIP juga mesti mengajarkan tentang “politik uang” dan kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang berpeluang besar terjadi dalam Pemilu? Bila perlu beberkan di depan khalayak ramai mengenai contoh-contoh kasus yang pernah terjadi Aceh. Jangan nanti di saat terjadi kecurangan dalam Pemilu pada April 2014 mendatang, timbul tumpang-tindih, seperti berikut misalnya: “Kami (KIP) hanya penyelenggara, itu urusan Pengawas Pemilu.”, “Kami selaku pengawas menyerahkan ini pada Dewan Kehormatan.”
Dan bukankah tidak menutup kemungkinan, Dewan Kehormatan, membawa pelanggaran-pelanggaran tersebut ke arah impunitas hukum, seperti apa yang telah terjadi pada pesta demokrasi yang sudah-sudah?
Kekerasan Pemilu, Siapa di belakang layar?
Dari berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Aceh, belum nampak adanya proses penegakan hukum yang komprehensif dari aparat keamanan. Ketidakterbukaannya dan kurang akomodatifnya aparat melihat situasi, bisa berimplikasi pada tidak adanya kepercayaan masyarakat akan terciptanya pemilu yang aman nantinya.
Kepala BIN Marciano Norman disejumlah media massa mengatakan bahwa kelompok teroris di Indonesia saat ini masih menyebar di daerah-daerah konflik. Nah, hal ini menyiratkan, seolah-olah, tidak tertanganinya sejumlah kasus kekerasaan yang bermotifkan politik di Aceh, berhubungan dengan anggaran. Karena dalam menangani kasus-kasus terorisme, pihak kepolisian membutuhkan anggaran yang lebih besar dari kasus-kasus biasanya. Ditambah dengan sumber daya yang terlatih, dan alat-alat yang canggih. 10 Satuan Setingkat Kompi (SSK) juga akan dikirim ke Aceh.
Adakah Aceh akan kembali menjadi "lahan latihan militer"?
Namun ada beberapa slogan yang acap kali terdengar hambar di telinga penulis. Baru-baru ini misalnya, penulis kerap mendengar dan membaca kalimat: Mari Kita Wujudkan Pemilu yang Adil dan Damai; atau Pemilu Aman dan Amanah.
Memang tak ada yang salah dari kalimat tersebut. Tapi bila ditelaah lebih dalam, damai, amanah, dan adil, yang seperti apakah yang kita inginkan? Apakah maksud dari Pemilu yang merangkum tiga kata tersebut, dicapai dengan menutup mata terhadap berbagai teror, intimidasi, “politik uang”, dan kecurangan, yang acap kali terjadi dalam setiap Pemilu dan pemilihan gubernur/wakil gubernur serta bupati/wakil bupati, dalam beberapa dekade terakhir?
Tentu saja bukan “mendiamkan” kecurangan atas nama menyukseskan Pemilu yang damai dan adil serta amanah yang kita inginkan, bukan?
“Politik uang”, misalnya, kerap terjadi pada incumbent yang ingin mencalonkan diri lagi pada periode berikutnya. Atau hal itu terjadi pada Caleg yang berasal dari kalangan pemilik modal (oligart).
Penulis pernah mendengar pengumuman di masjid di sebuah gampong (desa) pada saat salat Jumat, yang kira-kira berbunyi seperti ini, “Jamaah salat Jumat yang dimuliakan Allah, telah kami terima sumbangan untuk pembangunan masjid, dari Bapak Pulan, sebesar sekian ratus juta rupiah.”
Selidik punya selidik, uang tersebut rupanya berasal dari dana aspirasi seorang anggota DPR Aceh yang konon ingin mencalonkan diri sekali lagi. Tentu masyarakat awam mengira “si bapak” tersebut sangat darmawan dan pantas dipilih lagi atas kebaikan yang bersangkutan lakukan. Padahal uang yang masjid tersebut peroleh, memang sesuatu yang sudah semestinya didapati sesuai dengan fungsi dana aspirasi itu sendiri yang memang diperuntukkan untuk masyarakat.
Pendidikan politik
Lebih lanjut, Komisi Idependen Pemilihan (KIP) seyogianya tidak hanya mengedukasi para pemilih dengan hanya mengajarkan tata cara mencoblos atau cara masuk ke dalam bilik suara, tahapan-tahapan Pemilu, dan juga dasar hukum Pemilu. Tapi bukankah tidak ada salahnya jika KIP juga mesti mengajarkan tentang “politik uang” dan kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang berpeluang besar terjadi dalam Pemilu? Bila perlu beberkan di depan khalayak ramai mengenai contoh-contoh kasus yang pernah terjadi Aceh. Jangan nanti di saat terjadi kecurangan dalam Pemilu pada April 2014 mendatang, timbul tumpang-tindih, seperti berikut misalnya: “Kami (KIP) hanya penyelenggara, itu urusan Pengawas Pemilu.”, “Kami selaku pengawas menyerahkan ini pada Dewan Kehormatan.”
Dan bukankah tidak menutup kemungkinan, Dewan Kehormatan, membawa pelanggaran-pelanggaran tersebut ke arah impunitas hukum, seperti apa yang telah terjadi pada pesta demokrasi yang sudah-sudah?
Kekerasan Pemilu, Siapa di belakang layar?
Dari berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Aceh, belum nampak adanya proses penegakan hukum yang komprehensif dari aparat keamanan. Ketidakterbukaannya dan kurang akomodatifnya aparat melihat situasi, bisa berimplikasi pada tidak adanya kepercayaan masyarakat akan terciptanya pemilu yang aman nantinya.
Kepala BIN Marciano Norman disejumlah media massa mengatakan bahwa kelompok teroris di Indonesia saat ini masih menyebar di daerah-daerah konflik. Nah, hal ini menyiratkan, seolah-olah, tidak tertanganinya sejumlah kasus kekerasaan yang bermotifkan politik di Aceh, berhubungan dengan anggaran. Karena dalam menangani kasus-kasus terorisme, pihak kepolisian membutuhkan anggaran yang lebih besar dari kasus-kasus biasanya. Ditambah dengan sumber daya yang terlatih, dan alat-alat yang canggih. 10 Satuan Setingkat Kompi (SSK) juga akan dikirim ke Aceh.
Adakah Aceh akan kembali menjadi "lahan latihan militer"?
Sumber: Tempo
loading...
Post a Comment