AMP - Rakyat Aceh dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia, sejak Proklamasi 1945, telah memperlihatkan sikap setia setiap saat terhadap NKRI. Namun sedihnya Aceh terus menerus DIFITNAH hendak memisahkan diri dari integritas keindonesiaan.
Dengan tuduhan itu pula apa yang terjadi di Aceh tidak ada yang memperdulikan, pun ketika Aceh menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Padahal pernyataan setia yang dikumandangkan para ulama – nyaris merupakan pernyataan syahadat bagi Republik ini. Tapi yang didapat rakyat Aceh tidak lebih dari teror, penindasan dan ketidakadilan sepanjang abad. Adalah Teungku Hasan Muhammad di Tiro salah satu pemimpin yang memimpin Aceh untuk melawan, melawan ketidakadilan Indonesia terhadap Aceh.
Teungku Hasan Muhammad di Tiro lahir di Tanjong Bungong, Lameulo Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 25 September 1925 dari pasangan Pocut Fatimah dan Teungku Muhammad Hasan. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro Pahlawan Nasional Indonesia.
Ketika kecil Hasan Tiro dimasukkan ayahnya ke Madrasah Blang Paseh milik Teuku Daud Beureueh di kawasan Tiro. Namun pada 1943, Hasan Tiro dikeluarkan dari madrasah karena ulahnya yang suka berkelahi. Kemudian Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Sekolah Normal Islam di Bireuen hingga tamat SLTA.
Di sekolah ini pula Hasan Tiro mendapatkan pemahaman tentang pentingnya rasa nasionalis. Ini terbukti pada saat para tokoh Aceh mendukung kemerdekaan Republik Indonesia secara penuh, Hasan Tiro bergabung dalam kepemudaan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) kecamatan Lemmeulo.
Pada 24 September 1945, Keluarga Besar Tiro membuat ikrar kesetiaan pada pemerintah RI dan pengibaran bendera merah putih di kecamatan Lammeulo dan Hasan Tiro yang menjadi pemuda pengerek bendera merah putih dalam acara tersebut.
Setelah selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Normal Islam, kakak kandung Hasan Tiro, Zainal Abidin Muhammad meminta bantuan Daud Beureueh agar adiknya bisa disekolahkan ke perguruan tinggi. Karena di Aceh tidak ada perguruan tinggi (tragis bandingkan dengan Jawa), Daud Beureueh menitipkan Hasan Tiro kepada sahabatnya Syafruddin Prawiranegara. Berkat Syafruddin akhirnya Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada 1950, Hasan Tiro berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Akhir tahun 1950 Hasan Tiro berangkat ke Filipina dan kemudian ke Amerika guna melanjutkan studi di Columbia University. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hasan Tiro bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di New York dan tinggal di 454 Riverside Drive, New York.
Pada 1954 Saat Perjuangan DI/TII dan PRRI/Permesta untuk kemerdekaan dan keadilan sedang gencar-gencarnya di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah menanggapinya dengan cara membantai rakyat membabi buta. Hasan Tiro memprotes sikap brutal pemerintah saat memburu para pejuang DI/TII sampai kepedalaman Aceh, lalu bulan September 1954 mengirim sepucuk surat ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Satroamidjojo agar menghentikan terjadinya aksi kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Dalam surat itu Hasan Tiro menyakini Pemerintah Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh membunuh sesama saudara. Di samping itu, pemerintah Ali Sastroamidjojo telah melakukan kejahatan-kejahatan genocide terhadap rakyat sipil Aceh. Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim negara Republik Indonesia modern di bawah naungan Pancasila di mana hal itu sudah tentu sangat bertentangan dengan Piagam PBB.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Ali Sastroamidjojo hari ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan:
Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis – Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi sksi.
Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat.
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI dan bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Hasan Tiro diangkat sebagai Duta Besar Negara Islam di PBB.
Pada 1958 Hasan Tiro bukunya yang berjudul Demokrasi Untuk Indonesia terbit di Amerika. Dalam bukunya tersebut, Hasan Tiro sangat mengecam konsep negara kesatuan ala Soekarno. Karena sangat tidak mungkin dengan wilayah yang sangat luas, Indonesia dipaksakan menjadi negara kesatuan. Untuk itu, Hasan Tiro menawarkan sistem federal untuk berlangsungnya demokrasi Indonesia. Tujuannya, agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang.
Pertengahan 1974 Hasan Tiro kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun. Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat. Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar
Pada 30 Oktober 1976 Hasan Tiro pulang ke Indonesia, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.
Hasan Tiro Berkata: “Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
Di Bukit Cokan Hasan Tiro menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Tepat pada tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra.
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya.
Selanjutnya, pidato tertulis Hasan Tiro dibacakan Malik. Dalam pidato tersebut, berulang kali Hasan Tiro mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas perdamaian dan kebebasan yang kini bisa dinikmati rakyat Aceh.
Dengan tuduhan itu pula apa yang terjadi di Aceh tidak ada yang memperdulikan, pun ketika Aceh menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Padahal pernyataan setia yang dikumandangkan para ulama – nyaris merupakan pernyataan syahadat bagi Republik ini. Tapi yang didapat rakyat Aceh tidak lebih dari teror, penindasan dan ketidakadilan sepanjang abad. Adalah Teungku Hasan Muhammad di Tiro salah satu pemimpin yang memimpin Aceh untuk melawan, melawan ketidakadilan Indonesia terhadap Aceh.
Teungku Hasan Muhammad di Tiro lahir di Tanjong Bungong, Lameulo Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam, 25 September 1925 dari pasangan Pocut Fatimah dan Teungku Muhammad Hasan. Dia adalah keturunan ketiga Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro Pahlawan Nasional Indonesia.
Ketika kecil Hasan Tiro dimasukkan ayahnya ke Madrasah Blang Paseh milik Teuku Daud Beureueh di kawasan Tiro. Namun pada 1943, Hasan Tiro dikeluarkan dari madrasah karena ulahnya yang suka berkelahi. Kemudian Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Sekolah Normal Islam di Bireuen hingga tamat SLTA.
Di sekolah ini pula Hasan Tiro mendapatkan pemahaman tentang pentingnya rasa nasionalis. Ini terbukti pada saat para tokoh Aceh mendukung kemerdekaan Republik Indonesia secara penuh, Hasan Tiro bergabung dalam kepemudaan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) kecamatan Lemmeulo.
Pada 24 September 1945, Keluarga Besar Tiro membuat ikrar kesetiaan pada pemerintah RI dan pengibaran bendera merah putih di kecamatan Lammeulo dan Hasan Tiro yang menjadi pemuda pengerek bendera merah putih dalam acara tersebut.
Setelah selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Normal Islam, kakak kandung Hasan Tiro, Zainal Abidin Muhammad meminta bantuan Daud Beureueh agar adiknya bisa disekolahkan ke perguruan tinggi. Karena di Aceh tidak ada perguruan tinggi (tragis bandingkan dengan Jawa), Daud Beureueh menitipkan Hasan Tiro kepada sahabatnya Syafruddin Prawiranegara. Berkat Syafruddin akhirnya Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada 1950, Hasan Tiro berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Akhir tahun 1950 Hasan Tiro berangkat ke Filipina dan kemudian ke Amerika guna melanjutkan studi di Columbia University. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hasan Tiro bekerja sebagai staf perwakilan Indonesia di New York dan tinggal di 454 Riverside Drive, New York.
Pada 1954 Saat Perjuangan DI/TII dan PRRI/Permesta untuk kemerdekaan dan keadilan sedang gencar-gencarnya di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah menanggapinya dengan cara membantai rakyat membabi buta. Hasan Tiro memprotes sikap brutal pemerintah saat memburu para pejuang DI/TII sampai kepedalaman Aceh, lalu bulan September 1954 mengirim sepucuk surat ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Satroamidjojo agar menghentikan terjadinya aksi kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Dalam surat itu Hasan Tiro menyakini Pemerintah Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh membunuh sesama saudara. Di samping itu, pemerintah Ali Sastroamidjojo telah melakukan kejahatan-kejahatan genocide terhadap rakyat sipil Aceh. Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim negara Republik Indonesia modern di bawah naungan Pancasila di mana hal itu sudah tentu sangat bertentangan dengan Piagam PBB.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Ali Sastroamidjojo hari ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia. Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan:
Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis – Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi sksi.
Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat.
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI dan bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Hasan Tiro diangkat sebagai Duta Besar Negara Islam di PBB.
Pada 1958 Hasan Tiro bukunya yang berjudul Demokrasi Untuk Indonesia terbit di Amerika. Dalam bukunya tersebut, Hasan Tiro sangat mengecam konsep negara kesatuan ala Soekarno. Karena sangat tidak mungkin dengan wilayah yang sangat luas, Indonesia dipaksakan menjadi negara kesatuan. Untuk itu, Hasan Tiro menawarkan sistem federal untuk berlangsungnya demokrasi Indonesia. Tujuannya, agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang.
Pertengahan 1974 Hasan Tiro kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun. Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka. Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat. Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar
Pada 30 Oktober 1976 Hasan Tiro pulang ke Indonesia, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur. Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.
Hasan Tiro Berkata: “Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
Di Bukit Cokan Hasan Tiro menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Tepat pada tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra.
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya.
Selanjutnya, pidato tertulis Hasan Tiro dibacakan Malik. Dalam pidato tersebut, berulang kali Hasan Tiro mengucapkan rasa syukur dan terima kasih atas perdamaian dan kebebasan yang kini bisa dinikmati rakyat Aceh.
”Saya menghargai kebijaksanaan dan tekad baik Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla yang sejak awal tahun 2000 telah merintis jalan penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh harus melalui perundingan, bukan dengan kekerasan senjata,” katanya.
”Kalau masih ada pihak-pihak yang menentang dan tidak menyetujui MOU Helsinki, saya menyerukan untuk kembali dan bersatu dengan rakyat Aceh yang sekarang sedang memelihara dan menikmati kedamaian dan kebebasan menyeluruh di bumi Aceh,” ujar Hasan Tiro.
Ia mengungkapkan, pengalaman konflik bersenjata masa lalu telah memakan banyak korban rakyat Aceh. ”Di dalam perang kita telah sangat banyak pengorbanan, tetapi dalam kedamaian kita harus bersedia berkorban lebih banyak lagi. Memang biaya perang sangat mahal, tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal. Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua,” katanya.
Warga yang hadir di Masjid Raya umumnya mengaku puas dapat bertemu langsung dengan Hasan Tiro yang mereka anggap sebagai ”Wali Nanggroe” atau penerus kepemimpinan setelah era Kesultanan Aceh berakhir.
Hasan Tiro adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh tidak pernah padam, sebagaimana para pejuang Aceh lainnya dulu ketika menghadapi kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh berdiri sejajar dengan Jawa adalah bukti bahwa di Indonesia ada ketimpangan, ketidakadilan, ada jurang pemisah antara Jawa – non Jawa. Pembebasan Aceh dari masalah-masalah tersebut adalah keniscayaan. Pertanyaannya adalah mengapa sejarah kelam Indonesia mencatatkan namanya sebagai pemberontak?
Sumber: mitradecapri.blogspot.co.id
loading...
Post a Comment