Perlukah Daerah Otonomi Baru di Aceh Utara?
AMP - Aceh Utara merupakan sebuah kabupaten di Aceh dikenal sebagai penghasil
minyak bumi, kondensat dan LNG mulai diproduksi tahun 1977. Hasil tambang yang
lahir dalam perut bumi Malikussaleh, sejak itu telah memberikan kontribusi terbesar terhadap
devisa negara berjumlah miliaran dollar. Aceh Utara kala itu masih berada
antara Samalanga dengan Pantonlabu (dari Krueng Bate Iliek sampai Krueng Jambo
Aye)
Kemudian dengan segala daya dan upaya, Aceh Utara dimekarkan menjadi dua
daerah, Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen. Sementara kabupaten induk Aceh
Utara kini berada antara Krueng Tuan di Sawang sampai Krueng Jambo Aye di
Pantonlabu. Memiliki luas 3.237 km, 27 kecamatan, 72 mukim, 852 desa, 500 ribu
lebih jumlah penduduknya.
Pemekaran tersebut, ditujukan untuk menciptakan hasil pembangunan yang adil
dan lebih merata. Setelah 14 tahun berjalan pemekaran, ternyata masih
sangat banyak meninggalkan berbagai masalah yang dihadapi oleh penduduk
dan pemerintah setempat sebagai kabupaten induknya.
Masalah nyata yang dapat dilihat sekarang yaitu tingkat kemiskinan berada
di atas 20 persen atau di atas rata-rata provinsi dan nasional, mutu
pendidikan, mutu pelayanan kesehatan, mutu irigasi, mutu perkebunan rakyat,
mutu perikanan, mutu peternakan semuanya rendah, banyaknya pengangguran,
sehingga tingkat pendapatan per kapita ikut rendah, per tahun Rp4,9 juta pada 2011,
tanpa hitungan Migas.
Masalah selanjutnya, infrastruktur jalan, jembatan, irigasi belum mememuhi
syarat sebagai sistem infrastruktur terbaik. Termasuk jalan usaha tani dan
jalan desa. Kemudian transportasi dan jaringan bisnis masyarakat dikuasai oleh
agen ekonomi tertentu, sehingga harga barang hasil pertanian di bawah harga
pasar.
Sisi lain, terjadinya konflik sosial, konflik politik, dan konflik ekonomi
yang telah dimulai sejak tahun 1980-an dan telah melahirkan berbagai konflik
lainnya yang berimbas kepada situasi keamanan yang tidak kondusif. Konflik
tersebut juga melahirkan degradasi harkat & martabat, kecemburuan sosial
dan penurunan nilai-nilai sosial kekerabatan.
Dalam situasi tersebut, maka muncul gerakan-gerakan rakyat yang mudah
terhasut untuk menentang ketidakadilan, walaupun akhirnya gerakan tersebut
belum memperoleh keberhasilan.
Dari aspek ekonomi, kawasan Aceh Utara dengan ibu kota Lhokseumawe kala
itu, yang disebut sebagai kota “petro dollar” dapat dibanggakan kesuksesannya.
Tapi itu hanya bom waktu yang bertahan satu dekade saja. Impian tersebut jauh
dari harapan dan cita-cita, bahwa Kota Lhokseumawe akan menjadi akan menjadi
Kota Singapura kedua. Artinya, adanya produksi minyak dan gas alam, ternyata
tidak dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang adil merata dan
signifikan.
Dari aspek penyelenggaraan pemerintahan dengan berbagai persoalan dihadapi
dan manajemen pemerintahan sangat rentan konflik, munculnya budaya ABS (asal
bapak senang), korupsi berjamaah, politik uang, dan pejabat uang. Hal itu telah
menimbulkan distorsi manajemen pemerintahan dan layanan pemerintahan apa
adanya.
Dari aspek perencanaan, visi dan misi pemerintahan, masterplan kawasan atau
daerah tidak dilahirkan dengan secara rasional, objektif, dan dinamis sebagai
sebuah visi kawasan atau daerah yang dibanggakan untuk kemakmuran dan keadalian
rakyat.
Dari sektor petensi sumber daya alam, sumber daya mineral, dan sumber daya
kelautan belum mampu dikelola secara optimal. Sebagai contoh sumber daya alam
pariswisata, kawasan budaya islami, dan potensi kelautan belum tergali
sama sekali. Apalagi sumber daya manusia meski memiliki potensi untuk
dikembangkan tapi belum melahirkan generasi cinta dirinya, keluarganya,
bangsanya, dan negaranya.
Setelah 14 tahun tiga wilayah hasil pemekaran meliputi Aceh Utara, Bireuen
dan Kota Lhokseumawe, jumlah dana APBK masing-masing di atas Rp1 triliun setiap
tahun, ditetapkan untuk menyelesaikan masalah. Namun, persoalan-persoalan itu
belum dapat diselesaikan dalam kehidupan masyarakat sesuai cita-cita
pemerintah.
Dari segi leadership, pemilihan bupati dan walikota adalah hasil demokrasi.
Pemimpin di pilih oleh rakyat selama tahun 1970-an sampai sekarang, namun belum
mampu menyelasaikan berbagai masalah yang terjadi, dan bahkan muncul masalah
baru dalam masyarakat.
Sejak bupati Kolonel Alibasyah, Bupati Ramli Ridwan, Karimuddin
Hasyibullah, Tarmizi A Karim, dan Ilyas A Hamid, yang jelas-jelas dipilih oleh
rakyat, sepeninggal mereka memimpin masih menyisakan berbagai persoalan yang
tidak dapat terselesaikan.
Menelisik berbagai masalah, akankah ketiga daerah tersebut maju dan
berkembang dengan gesitnya? Mungkin Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe yang
menjadi harapan positif untuk maju dan berkembang, dan menyelesaikan masalahnya,
karena jumlah penduduk, dan luas daerahnya ideal, serta terjangkaunya informasi
berbagai masalah dihadapi rakyatnya. Sementara Kabupaten Aceh Utara, dengan
banyaknya penduduk, gemuknya daerah, jumlah desa terbanyak secara nasional, dan
bergelimangnya masalah, sudah pasti akan tertinggal jauh dengan kedua
daerah yang telah lebih dahulu dimekarkan.
Menjawab itu, paling kurang terdapat tiga solusi untuk memajukan dan
mensejahterakan masyarakat Kabupaten Aceh Utara. Pertama, meningkatkan APBK dua
kali lipat menjadi lebih kurang Rp3,5 triliun rupiah. Kalau solusi ini tidak mungkin, maka
kedua, membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) untuk pemekaran Kabupaten dengan membagi dua luas daerah,
dari 27 kecamatan. Ketiga, beberapa kecamatan di Aceh Utara bergabung dengan
Pemko Lhokseumawe.