Halloween Costume ideas 2015
August 2015

AMP - Aceh Utara merupakan sebuah kabupaten di Aceh dikenal sebagai penghasil minyak bumi, kondensat dan LNG mulai diproduksi tahun 1977. Hasil tambang yang lahir dalam perut bumi Malikussaleh, sejak  itu telah memberikan kontribusi terbesar terhadap devisa negara berjumlah miliaran dollar. Aceh Utara kala itu masih berada antara Samalanga dengan Pantonlabu (dari Krueng Bate Iliek sampai Krueng Jambo Aye)

Kemudian dengan segala daya dan upaya, Aceh Utara dimekarkan menjadi dua daerah, Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen. Sementara kabupaten induk Aceh Utara kini berada antara Krueng Tuan di Sawang sampai Krueng Jambo Aye di Pantonlabu. Memiliki luas 3.237 km, 27 kecamatan, 72 mukim, 852 desa, 500 ribu lebih jumlah penduduknya.

Pemekaran tersebut, ditujukan  untuk menciptakan hasil pembangunan yang adil dan lebih merata. Setelah 14 tahun berjalan pemekaran, ternyata masih sangat  banyak meninggalkan berbagai masalah yang dihadapi oleh penduduk dan pemerintah setempat sebagai kabupaten induknya.

Masalah nyata yang dapat dilihat sekarang yaitu tingkat kemiskinan berada di atas 20 persen atau di atas rata-rata provinsi dan nasional, mutu pendidikan, mutu pelayanan kesehatan, mutu irigasi, mutu perkebunan rakyat, mutu perikanan, mutu peternakan semuanya rendah, banyaknya pengangguran, sehingga tingkat pendapatan per kapita ikut rendah, per tahun Rp4,9 juta pada 2011, tanpa hitungan Migas.

Masalah selanjutnya, infrastruktur jalan, jembatan, irigasi belum mememuhi syarat sebagai sistem infrastruktur terbaik. Termasuk jalan usaha tani dan jalan desa. Kemudian transportasi dan jaringan bisnis masyarakat dikuasai oleh agen ekonomi tertentu, sehingga harga barang hasil pertanian di bawah harga pasar.

Sisi lain, terjadinya konflik sosial, konflik politik, dan konflik ekonomi yang telah dimulai sejak tahun 1980-an dan telah melahirkan berbagai konflik lainnya yang berimbas kepada situasi keamanan yang tidak kondusif. Konflik tersebut juga melahirkan degradasi harkat & martabat, kecemburuan sosial dan penurunan nilai-nilai sosial kekerabatan.

Dalam situasi tersebut, maka muncul gerakan-gerakan rakyat yang mudah terhasut untuk menentang ketidakadilan, walaupun akhirnya gerakan tersebut belum memperoleh keberhasilan.

Dari aspek ekonomi, kawasan Aceh Utara dengan ibu kota Lhokseumawe kala itu, yang disebut sebagai kota “petro dollar” dapat dibanggakan kesuksesannya. Tapi itu hanya bom waktu yang bertahan satu dekade saja. Impian tersebut jauh dari harapan dan cita-cita, bahwa Kota Lhokseumawe akan menjadi akan menjadi Kota Singapura kedua. Artinya, adanya produksi minyak dan gas alam, ternyata tidak dapat menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang adil merata dan signifikan.
Dari aspek penyelenggaraan pemerintahan dengan berbagai persoalan dihadapi dan manajemen pemerintahan sangat rentan konflik, munculnya budaya ABS (asal bapak senang), korupsi berjamaah, politik uang, dan pejabat uang. Hal itu telah menimbulkan distorsi manajemen pemerintahan dan layanan pemerintahan apa adanya.

Dari aspek perencanaan, visi dan misi pemerintahan, masterplan kawasan atau daerah tidak dilahirkan dengan secara rasional, objektif, dan dinamis sebagai sebuah visi kawasan atau daerah yang dibanggakan untuk kemakmuran dan keadalian rakyat.

Dari sektor petensi sumber daya alam, sumber daya mineral, dan sumber daya kelautan belum mampu dikelola secara optimal. Sebagai contoh sumber daya alam pariswisata,  kawasan budaya islami, dan potensi kelautan belum tergali sama sekali. Apalagi sumber daya manusia meski memiliki potensi untuk dikembangkan tapi belum melahirkan generasi cinta dirinya, keluarganya, bangsanya, dan negaranya.

Setelah 14 tahun tiga wilayah hasil pemekaran meliputi Aceh Utara, Bireuen dan Kota Lhokseumawe, jumlah dana APBK masing-masing di atas Rp1 triliun setiap tahun, ditetapkan untuk menyelesaikan masalah. Namun, persoalan-persoalan itu belum dapat diselesaikan dalam kehidupan masyarakat sesuai cita-cita pemerintah. 

Dari segi leadership, pemilihan bupati dan walikota adalah hasil demokrasi. Pemimpin di pilih oleh rakyat selama tahun 1970-an sampai sekarang, namun belum mampu menyelasaikan berbagai masalah yang terjadi, dan bahkan muncul masalah baru dalam masyarakat.

Sejak bupati Kolonel Alibasyah, Bupati Ramli Ridwan, Karimuddin Hasyibullah, Tarmizi A Karim, dan Ilyas A Hamid, yang jelas-jelas dipilih oleh rakyat, sepeninggal mereka memimpin masih menyisakan berbagai persoalan yang tidak dapat terselesaikan.

Menelisik berbagai masalah, akankah ketiga daerah tersebut maju dan berkembang dengan gesitnya? Mungkin Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe yang menjadi harapan positif untuk maju dan berkembang, dan menyelesaikan masalahnya, karena jumlah penduduk, dan luas daerahnya ideal, serta terjangkaunya informasi berbagai masalah dihadapi rakyatnya. Sementara Kabupaten Aceh Utara, dengan banyaknya penduduk, gemuknya daerah,  jumlah desa terbanyak secara nasional, dan bergelimangnya masalah, sudah pasti akan tertinggal jauh dengan kedua daerah yang telah lebih dahulu dimekarkan.

Menjawab itu, paling kurang terdapat tiga solusi untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Kabupaten Aceh Utara. Pertama, meningkatkan APBK dua kali lipat menjadi lebih kurang Rp3,5 triliun rupiah. Kalau solusi ini tidak mungkin, maka kedua, membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB) untuk pemekaran Kabupaten  dengan membagi dua luas daerah, dari 27 kecamatan. Ketiga, beberapa kecamatan di Aceh Utara bergabung dengan Pemko Lhokseumawe.
 

August 31, 2015
Jakarta – Kembali, janda dan yatim bertambah di Aceh karena penembakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian Aceh terhadap Junaidi alias Beurijuek yang diduga anggota Kelompok Din Minimi, pada Kamis, (27/8/2015) di Area SPBU Batupaht, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhoksumawe, terlepas dari kejahatan apapun yang dilakukan Junaidi, apakah ia terlibat dalam kelompok kriminal atau apapun itu, aparat kepolisian mempunyai aturan yang haru ditaati, hal ini diungkapkan Ferry Afrizal yang merupakan aktifis HAM yang merupakan putra Aceh anak korban konflik yang kini berdomisili di Jakarta, yang mengirimkan rilisnya Senin, (31/8/2015).

“Penggunaan Senjata Api oleh Polisi harus mengacu kepada Perkapolri, seperti halnya yang tertuang dalam Pasal 48 huruf b Perkapolri Nomor 8 tahun 2009 yang menerangkan bahwa penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia. Sebelum menggunakan senjata api, Polisi harus memberikan peringatan yang jelas,” kata Ferry.

Lanjutnya, dalam hal ini, petinggi Polri (Kapolri-red) harus menindak bawahannya yang telah menjadi eksekutor dan menerapkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), hal ini penting bukan semata-mata untuk melindungi penjahat, akan tetapi perlindungan HAM adalah tanggung jawab negara dan tidak boleh ditawar.

Sebagaimana yang di atur dalam Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya,” selain itu didalam Pasal 28I ayat (1) menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah satu dari tujuh hak asasi manusia yang oleh UUD 1945 dinyatakan sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), lebih jelasnya didalam pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak atas kehidupan dan mempertahankan kehidupannya.

“Setelah kasus penembakan yang mengakibatkan meninggalnya korban, siapa yang akan memperhatikan dan membiayai anak dan istri korban, haruskah akan bernasib sama seperti janda dan Yatim DOM Aceh?” ujar Ferry

Ia juga menambahkan, pembunuhan diluar proses pengadilan atau extra judicial killing seakan legal dan dibenarkan terjadi di Aceh, terutama pasca kelompok bersenjata Din Minimi menyatakan perlawanan terhadap pemerintah Aceh yang mayoritas dikuasai oleh Mantan Kombatan GAM, Gubernur Aceh Doto Zaini juga sering lepas tangan terhadap kondisi dan bahkan melemparkan tanggung jawab kepada Aparat hal ini berdasarkan pemberitaan media.

“Terlepas dari apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, pemerintah Aceh, dan Wali Nanggroe DPRA tidak boleh cuek dan membisu, harusnya tiga komponen ini harus bijak dalam menutup keran/celah terjadinya konflik, mulai sekarang Pemerintah Aceh harus lebih peka terhadap kondisi,” tukas Ferry.

Menurut Ferry, berbeda isu akan tetapi hampir sama halnya seperti yang dilakukan oleh Gubernur Aceh era DOM (1989-1998-red) dalam menumpas AM sebutan lain adalah GPK, sehingga korban berjatuhan dan melahirkan janda dan yatim.

“Pemerintah Aceh dan juga aparat keamanan harus melakukan upaya dan pendekatan yang bersifat humanis supaya tidak lagi jatuh korban, Komnas HAM juga harus melakukan Penyelidikan dan tidak diam menyikapi persoalan ini,” ujar Ferry menyarankan.

Ferry juga mengatakan, benih konflik kian subur, hal ini dikarenakan oleh tidak selesainya kasus pelanggaram HAM masa lalu, sehinga peluang terjadinya pelanggaran HAM dimasa mendatang akan terbuka, negara tidak mengadili pelaku pelaku kejahatan masa lalu sama halnya dengan memberikan kesempatan kepada pelaku yang lain untuk melakukan kejahatan yang sama dimasa sekarang dan mendatang walaupun dalam jumlah kecil.

“Bukan maksud untuk memperkeruh suasana, akan tetapi kasus tersebut tidak boleh terulang dan tidak boleh dibiarkan,” pungkas Ferry.(KA)

August 31, 2015 ,
Lhokseumawe - Sebuah pameo dari timur tengah berbunyi “ Man Yazra’ Yahshud artinya Siapa Yang Menanam,Dia Akan Memetik/Memanen”.

Nikmatnya sebuah perdamaian itu bila rakyat merasakan kenyamanan dan tak lagi mendengar suara dentuman bedil serdadu yang menimbulkan kematian yang sia-sia.

Kenyataan sebenarnya, bukan hanya karena faktor ekonomi saja, tapi salah satu faktor utama yang menjadi pemicu terjadi konflik bersenjata api di Aceh adalah aksi pembunuhan yang disengaja.

Sehingga menjadi dendam membara seperti diwarisi kepada pihak keluarga korban sebagaimana pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Aceh berstatus DOM pada tahun 1990-1998.

Ketika itu, terlalu banyak kisah pilu yang bila dikenang kembali menorehkah kepefihan dan rasa dendam yang takkan pernah terbalaskan.

Apalagi, kala itu  aparat keamanan dan penegak hukum di Aceh menjadi alat pencabut nyawa manusia tanpa perlu melalui proses pengadilan.  sangat terasa menyakitkan hati rakyat sampai sekarang.

Akan tetapi, tanpa kita sadari benih konflik dari tragedi kematian itu seakan mulai terulang kembali pada kasus penangkapan dua anggota Din Minimi di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.

Namun yang paling terasa janggal adalah pada saat tim khusus polisi melakukan penangkapan terhadap Junaidi alias Beurijuk di SPBU Mawaddah Desa Batuphat Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe.

Sejumlah warga yang sedang beraktifitas di dekat SPBU setempat justru sempat menyaksikan langsung betapa hebatnya adegan pengepungan pada dua anggota Din Minimi.

Padahal warga yang sedang menyaksikan sebelumnya sangat memuji polisi persis Tim SEAL yakni pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat dan akan bertepuk tangan bila menangkap pelaku tidak bersenjata itu dalam keadaan hidup.

Namun ironisnya,  dalam posisi yang begitu mudah untuk menangkap, justru polisi ingin mengakhirinya dengan pembunuhan keji dan tak pernah terbayangkan oleh warga yang kebetulan sedang berada disana mengisi bahan bakar.

Beberapa warga melihat jelas dan tidak pernah membayangkan bila polisi tega membunuh Beurijuk dalam posisi terkepung dan tanpa perlawanan sedikitpun juga,dimana, Beurijuk sudah mengangkat kedua tangan sambil menyibakkan baju memperlihatkan dirinya tidak memiliki senjata apapun.

Namun walau demikian timah panas milik anggota polisi tetap bersarang dikakinya,dalam keadaan tertembak kaki,terdengar suara beurijuk berteriak minta ampun dan menyerah.

Teriakan Beurijuk ditanggapi dengan letusan senjata aparat polisi ditangan serta disusul peluru ketiga bersarang dileher beurijuk.

Ayah 2 anak ini tewas dalam keadaan masih nemakai helm,dalam posisi mengangkat tangan,dari leher,tangan serta kakinya mengalir darah membanjiri lantai depan toilet SPBU Batuphat.
Setelah dilarikan kerumah sakit,akhirnya pihak kepolisian menyerahkan beurijuk setelah menjadi mayat pada keluarga untuk dilakukan fardu kifayah.
Airmata dan teriakan histeris keluarga saat menerima jenazah beurijuk dikediamannya di desa alue papeun kecamatan nisam antara,aceh utara

Bahkan rasa trauma semakin mendalam, ketika membaca media massa ternyata pemberitaan tentang kematian Beurijuk justru lari dari kenyataan dan fakta , dia ditembak karena berupaya melarikan diri.

Saat Reporter melayat ke  ke rumah duka bertemu dengan Cut lilis surjani (27) isteri dari almarhum yang meninggalkan sepasang anak ,Keduanya masih kecil dan belum bisa duduk dibangku sekolah.

Mungkin keduanya anaknya pada pagi hari Kamis (27/8) menjadi hari terakhir buah hati mereka melihat wajah dan digendong oleh ayahnya,terhitung dihari yang sama juga mereka takkan pernah melihat wajah ataupun mendengar suara ayah mereka lagi.

“Sekarang tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk saya dan anak-anak saya yang masih kecil,masih ada ayahnya saja kehidupan kami seperti ini,kemana saya harus mengadu kalau bukan pada Allah SWT” ujar cut lilis sambil meneteskan air mata mengingat bagaimana nasibnya kedepan dia dalam membesarkan anak-anaknya.

Kelak bila dewasa, kedua anak yatim ini pasti akan mencari tahu kebenaran tentang kematian ayahnya. Sebelum hal itu terjadi, maka  penegak hukum yang harus lebih cepat dan tepat mengusut kebenarannya agar tidak ada lagi konflik Tueng Bela (balas dendam-red) di Aceh seperti yang terjadi pada masa-masa sebelum perdamaian terjadi di Aceh.
 

BANDA ACEH - Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menggelar konferensi pers terkait kronologis penembakan Ridwan (35) anggota Din Minimi di Kantor YARA di Jalan Pelangi, Gampong Keramat, Banda Aceh, Senin (31/8/205).

Dalam konferensi pers tersebut, YARA menghadirkan keluarga Ridwan yang ditembak mati oleh polisi di kawasan Desa Pulo Meuria, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, Kamis (20/8/2015) sekitar 17.10 WIB.

Adapun pihak keluarga yang dihadirkan seperti Rohani (70) selaku ibu Ridwan, bersama saudara kandungnya, Nurhayati (46) Abdisyah (45) dan T Aminah (30).

Dalam keterangannya, Rohani membantah anaknya tewas setelah terjadi kontak tembak, melainkan dibunuh setelah ditangkap tangan.

Menurut Rohani, setelah Ridwan ditembak di depan matanya, kemudian polisi menembak ke atas seakan terjadi kontak tembak.

"Tidak ada kontak tembak," katanya yang dibernatkan ketiga anaknya.(aceh.tribunnews.com)

AMP - Persoalan yang tak gampang di manapun berada; terutama di Indonesia, ditanya kapan kawin? Padahal urusan kawin ini tentu sangat sensitif sekali, terlebih pada mereka yang telah berumur dan belum menemukan pasangan hidupnya. Namun, urusan kawin di Aceh justru memiliki ketertarikan tersendiri, baik bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Menikahi gadis Aceh tidak mudah jika pernikahan itu baik-baik; melibatkan dua keluarga, bukan pernikahan karena &sebab-akibat& yang kemudian mendatangkan malu dan resepsi pernikahan tidak megah.
Sebelum menjadi linto baro dan dara baro atau raja dan ratu sehari, perempuan yang menunggu dilamar memang tidak khawatir jika orang tuanya telah setuju menikahinya. Bagi laki-laki dihadang oleh masalah cukup pelik terutama menyiapkan mahar.
Mahar
Mahar menjadi takaran sebuah pernikahan disetujui oleh kedua keluarga. Mahar untuk mendapatkan gadis Aceh tidak cukup dengan seperangkat alat salat; walaupun Islam membenarkan hal demikian. Mahar gadis Aceh adalah emas. Meminang gadis Aceh siapkan emas paling kurang 10 mayam. Jika tak ada kerja dulu sebelum mengetuk pintu rumah perempuan yang dicintai dengan segenap cinta dan berharap bahagia dalam rumah tangga.
Gadis Aceh dipinang dengan  mahar emas bukan karena emas itu mahal. Kebiasaan yang jatuh bebas dari turun-temurun menjadi ukuran bahwa emas adalah mahar terbaik. Tak ada emas sama dengan tak ada perkawinan dengan gadis Aceh. Ada tata cara sebelum mahar emas itu jatuh pada patokan wajib dipenuhi oleh seorang laki-laki. Salah satu faktor adalah mahar ibu kandung di mana penentuan mahar mengacu pada mahar ibu gadis yang sedang dilamar, boleh sama tapi tak boleh kurang. Selain mahar ibu kandung juga dilihat dari penentuan mahar di lingkungan sekitar. Status sosial ini penting karena omongan lebih tajam dari pada pisau. Mahar yang berlaku di lingkungan sekitar adalah sebuah kewajaran. Jika pun dilihat dari besarnya, tak bisa dikatakan mahal atau tidak. Contoh saja, seorang gadis dilamar dengan mahar sebesar mahar ibunya. Jika gadis itu berusia 25 tahun, dan katakanlah anak pertama dengan ibunya langsung hamil setelah menikah, mahar yang ditetapkan kadarnya adalah sama jika berada di 10 mayam emas walaupun harga emas berbeda. Masyarakat Aceh tidak melihat harga emas namun besar emas itulah penentu segala.
Peunuwoe
Seorang laki-laki yang sudah siap menikahi gadis Aceh tidak hanya mempunyai kewajiban menuaikan mahar saja. Laki-laki itu wajib memenuhi atau membeli perlengkapan pakaian kepada perempuan yang dinamai peunuwoe. Peunuwoe ini biasanya terdiri dari satu set bakal kain (pakaian belum jadi), perlengkapan make up, perlengkapan mandi, sepatu dan sendal, perlengkapan dapur (makan) seperti piring, cangkir, ceret, serta kebutuhan lain yang dianggap perlu. Peunuwoe ini biasanya diberikan saat intat linto (antar mempelai laki-laki) ke rumah mempelai perempuan setelah ijab kabul. Estimasi biaya untuk peunuwoe memang tidak ditetapkan oleh pihak mempelai perempuan saat pertemuan dua keluarga. Dana atau perlengkapan penting ini dibeli sesuai dengan kesanggupan mempelai laki-laki dan keluarganya. Walaupun tidak ditetapkan, peunuwoe ini wajib. Selain perlengkapan mati tadi, juga dibawa perlengkapan hidup seperti hewan ternak (ayam atau kambing), padi atau beras, buah-buahan dan sayuran. Serah terima dilakukan di rumah mempelai perempuan yang sedang menggelar pesta preh linto (tunggu mempelai laki-laki). 
 
Peng Angoeh
Di sebagian daerah Aceh memberlakukan peng angoeh (uang hangus). Uang hangus ini wajib diberikan kepada calon mempelai perempuan atau keluarganya sebelum ijab kabul (resepsi pernikahan). Uang hangus ini biasanya telah ditetapkan saat penentuan mahar atau saat rapat penentuan hari ijab kabul. Besar uang hangus biasanya diestimasikan sebesar isi kamar pengantin di rumah mempelai perempuan, ada pula yang mematok langsung nominalnya, misalnya 2 juta rupiah. Jika ada perjanjian uang hangus maka mempelai laki-laki wajib melunasinya, jika belum dilunasi maka tidak dibenarkan masuk (pulang) ke rumah mempelai perempuan walaupun sudah terjadi ijab kabul. 
 Daging Meugang
Tradisi meugang di Aceh menjelang bulan puasa - Ramadhan - barangkali  cukup berat untuk mempelai laki-laki. Pengantin baru ini wajib membawa pulang daging kerbau (sapi) ke rumah mertuanya. Seandainya satu atau dua kilo mudah sekali, namun tidak demikian. Daging yang wajib dibawa pulang berupa kepala kerbau atau pahanya. Tak hanya sampai di situ, mempelai laki-laki juga harus membawa pulang bumbu beserta beras. 
Terkadang, memang rumit sekali menikahi Gadis Aceh. Tapi tradisi ini telah dikerjakan entah dari tahun kapan. Masyarakat Aceh tidak menolak bahkan melawan, karena ini adalah tradisi, hanya ada di Aceh saja. Siapkah menikahi gadis Aceh?
 
VIVA

BANDA ACEH - Pangdam Iskandar Muda (IM), Mayjen TNI Agus Kriswanto, mengimbau pemuda dan mahasiswa mewaspadai ancaman pihak luar yang menggunakan pihak ketiga melalui berbagai cara terselubung (proxy war). Tujuan pihak luar itu untuk menguasai kekayaan alam, energi, dan sumber daya lainnya.

Pangdam menyampaikan hal ini saat memberi kuliah umum di hadapan sekitar 1.500 mahasiswa baru Unsyiah, Banda Aceh di Gedung AAC Dayab Dawood, Unsyiah, Banda Aceh, Minggu (30/8). Kuliah ini dalam rangka Pembinaan Akademik dan Karakter Mahasiswa Baru (Pakarmaru) Unsyiah tahun ajaran 2015/2016.

Dalam kuliah umum itu, jenderal bintang dua itu membahas materi “Proxy Warga” dan peran pemuda dalam menghadapinya. Menurut Pangdam, untuk mahasiswa materi ini sangat penting karena perlu disiapkan pembekalan dan pengetahuan yang kompleks menghadapi tantangan proxy war di masa mendatang.

Pangdam menyebutkan berbagai kejadian global berpotensi mengancam dan mengganggu kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Seperti halnya bahaya laten narkoba yang kapan saja bisa muncul.

“Dominasi perekonomian dunia seperti Amerika, Cina juga perlu diwaspadai. Selain itu ada ancaman propaganda melalui internet, konflik perang di Timur Tengah, mencuatnya sejumlah isu seperti isu Laut Cina Selatan, membeludaknya pengungsi atau imigran gelap hingga ketegangan di semenanjung Korea,” kata Pangdam.

Selain kuliah umum, juga pameran alat utama sistem pertahanan (Alutsista) TNI AD Kodam IM di halaman AAC Dayan Dawood, Unsyiah, 29 Agustus-1 Sepember 2015.

Seusai memberi kuliah umum, Pangdam IM didampingi Rektor Unsyiah, Prof Dr Samsul Rizal MEng, Wakil Ketua DPRA, Sulaiman Abda serta civitas akademika Unsyiah meninjau stand pameran alutsista. (aceh.tribunnews.com)

Banda Aceh - Polresta Banda Aceh berhasil mengamankan 3 pelaku penjambretan di kawasan kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Aksi pelaku selama ini membuat mahasiswa di kampus tersebut resah.

Mirisnya, mayoritas pelaku penjambretan dan aksi pencurian sepeda motor (Curanmor) di Banda Aceh dilakukan oleh anak baru gede (ABG) yang masih berstatus pelajar. Rata-rata pelaku masih berusia di bawah 16 tahun dan masih duduk di bangku sekolah.

Kasus terakhir aksi penjambretan di dua lokasi yang berbeda. Aksi penjambretan pertama terjadi Sabtu (22/8) sekira pukul 11.20 WIB terjadi di Jalan Lingkar Kampus, Darussalam. Polisi kemudian berhasil mengamankan tersangka Sabtu (29/8) berinisial FI (15).

Hasil pengembangan dari FI, polisi berhasil menangkap pelaku lainnya, Senin (31/8) sekira pukul 01.00 WIB yang berinisial MH (16). MH terlibat penjambretan beserta kekerasan di belakang Kampus Kedokteran Unsyiah 28 Mei 2015 lalu. Aksi ini dilakukan secara bersama-sama tersangka FI dan MH.

"Cara mereka jambret dengan cara mendekati kendaraan korban, lalu memepet calon korban, lantas menarik tas hingga korban terjatuh dari motor, semua korban itu perempuan," kata Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Zulkifli, Senin (31/8) pada gelar perkara di Mapolresta Banda Aceh.

Kondisi ini, kata Kapolres, sudah sangat memprihatinkan. Karena setiap kasus Curanmor dan penjambretan dilakukan oleh pelajar atau anak di bawah umur. Sehingga membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengatasinya.

Seperti terjadi aksi curanmor tersangka RAZ (14) bersama rekannya AK (17) diringkus oleh polisi, Senin (17/8) sekira pukul 23.30 WIB di Jalan SM Raja, Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

"Pemerintah Kota dan Aceh harus bersikap dengan kondisi ini. Karena rata-rata pelakunya adalah pelajar, anak di bawah umur," pintanya.

Kombes Pol Zulkifli juga meminta kepada seluruh orang tua masing-masing untuk mengawasi anaknya. Sehingga kasus serupa tidak kembali terjadi, bila tidak ini akan menghancurkan generasi bangsa ke depan.

Adapun motivasi mereka untuk mencuri dan menjambret, katanya, alasannya ada yang ketagihan game online. Ada juga alasan untuk hura-hura dan makan-makan bersama teman-temannya.

"Informasi yang kami peroleh, padahal orang tua mereka sudah memberikan jajan untuk pelaku, ini lagi-lagi butuh perhatian semua pihak," tutupnya.(merdeka.com)

AMP - Senator DPD RI asal Aceh, Ghazali Abbas Adan, mengatakan banyak pengalokasian dana Otsus di Aceh ternyata tidak langsung menyentuh kesejahteraan rakyat.

Menurut Ghazali Abbas, hal ini pula yang menurutnya sangat wajar apabila Komisi XI DPR RI dalam Kunjungan Kerja ke Aceh mengkritik Pemerintah Aceh, beberapa waktu lalu.

“Kalau dalam bahasa saya, sering saya katakan uang berkarung-karung (meu-umpang-umpang) dikirim ke Aceh tetapi rakyat belum maksimal merasakannya manfaatnya,” kata Ghazali Abbas Adan dalam siaran persnya yang dikirim ke redaksi portalsatu.com, Minggu sore 30 Agustus 2015.

“Jadi saat tidak beralasan mengatakan kami, DPD dan DPR RI asal Aceh tidur di Senayan,” kata Ghazali Abbas lagi.

Pernyataan itu, kata Ghazali Abbas, sebagai bukti bahwa gubernur tidak dibahani oleh informasi yang actual.

“Terkesan asal bunyi (meuka meujungkat keung),” kata Ghazali Abbas Adan selaku Wakil Komite IV dan anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI di Jakarta.

Ketika Ahmad Dani Kasih Sumbangan Rehap Rumah untuk Nek Putroe (Foto: Bustami /statusaceh.com, Senin 31/08/2015)
 Aceh Utara - Nek Putroe (nama panggilan) yang tinggal seorang diri di gubuk derita yang sudah roboh kini Nek Putroe pindah kerumah anaknya dengan membangun sebuah gubuk kecil  yang berbentuk "Rangkang",

Sehingga apa yang di alami oleh Nek Putroe mendapat perhatian dari Mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, walaupun sudah tidak menjadi seorang pejabat beliau merasa sedih terhadap penderitaan yang di alami oleh Nek Putroe, sehingga beliau menghubungi Ahmad Dani agar segera menjumpai Nek Putroe untuk memberikan sedikit bantuan alakadar..

 Nek Putroe salah seorang warga Desa Beuringen Kecamatan Meurah Meulia Aceh Utara, sama sekali tidak mendapat bantuan dari Pemerintah setempat, sehingga beliau harus pulang kerumah anaknya dengan membangun sebuah gubuk disamping Rumah anaknya, yang terlihat dindingnya ditempel batang pohon pinang yang terbelah dua, dan juga atap rumbia dimana atap tersebut merupakan atap yang di ambil dari rumah Nek Putroe yang sudah roboh.


Syarifah (38) anak nek Putroe mengatakan, Geuchik setempat telah menjamin rumah untuk Ibunya akan direhap, "katanya rumah ibuk akan direhab dan juga kami telah ajukan proposal, tapi kemarin malah disuruh buat proposal lagi," ujarnya.

 Ahmad Dani saat menjumpai Nek Putroe sekitar pukul 14:00 WIB pada hari senin 31 Agustus 2015, merasa sedih dengan kehidupan Nek Putroe, apalagi dia tinggal bersama anaknya yang berkehidupan sehari - hari tidak mencukupi .

Sampai dilokasi  Ahmad Dani menyapa Nek Putroe dengan rasa haru dan juga tetesan air mata, dan Dani sendiri menyumbangkan sedikit bantuan alakadar yang berbentuk dana kepada Nek Putroe agar Rumahnya direhap dan layak untuk dihuni oleh Nek Putroe.

Kepada wartawan Ahmad Dani menuturkan, sekian banyak anggaran yang di kucurkan untuk Aceh, kenapa Pemerintah Aceh masih terlihat peka dengan kehidupan rakyat Aceh seperti ini.

"Seharusnya Pemerintah Aceh fokus membangun Aceh dari segi perekonomian dan juga pembangunan Infrastruktur, Pemerintah harus sering blusukan ke perkampungan agar bisa memahami kondisi rakyat, sudah saatnya Pemerintah Aceh berhenti bicara ceut langet."Pungkas Dani

Sekarangpun Pemerintah Aceh lebih memikirkan strategi kampanye untuk Pemilukada 2017, bukan melakukan survey kelapangan untuk menstabilkan ekonomi masyarakat yang salah satunya memerhatikan warga fakir miskin/kaum Dhuafa yang lagi membutuhkan tempat berteduh, dan jika dipandang dari kehidupan Nenek tersebut sangat disayangkan karena Kemerdekaan Indonesia sudah ke 70 tahun tapi kehidupan nenek tersebut sama sekali belum menikmati bagaimana kehidupan sebuah Bangsa yang merdeka .tambah Dani.


August 30, 2015
Empat anggota kelompok bersenjata pimpinan Din Minimi di Polres Lhokseumawe, Aceh, Minggu (30/8/2015).

Lhokseumawe - Pemimpin kelompok bersenjata di Aceh, Din Minimi, diminta menyerahkan diri oleh sejumlah anak buahnya yang kini ditahan Polres Lhokseumawe.

Empat anggota kelompok bersenjata itu, yakni Faisal A Rani, Jalfanir, Musliadi, dan Zulkarnin, menyerahkan diri kepada aparat keamanan.

Ditemui di Polres Lhokseumawe, Minggu (30/8/2015), Faisal A Rani mengatakan ia bergabung dengan kelompok bersenjata itu karena diajak Azhar, adik kandung Din Minimi. 

Menurut Faizal, Azhar menceritakan kepadanya bagaimana pedihnya perjuangan mereka ketika masa konflik dan keadilan dari Pemerintah Aceh yang tak kunjung diperoleh.

Faizal menyebut sejumlah nama orang yang bergabung dalam kelompok itu. Di antaranya Rambo, Sihar, Alun Siteh, Adi Abon, Robin, dan Abu Aziz. Mereka dan Din Minimi masih bersembunyi di hutan belantara Aceh.

“Sudah cukup di hutan. Menyerahlah. Jika pun kita mencari keadilan, lebih baik menggunakan jalur yang lebih baik. Sudah banyak yang mati sia-sia,” sebut Faisal.

Seruan yang sama disampaikan oleh Jalfanir. “Sudahlah. Turunlah dari hutan dan kembali membina anak-anak kita seperti dulu,” sebut Jalfanir. 

Dia mengimbau agar Din Minimi menyampaikan aspirasinya pada Pemerintah Aceh lewat cara lain, bukan lewat cara bersenjata api.

“Tidak perlu takut dengan polisi. Mereka memperlakukan kami dengan baik. Jika pun kalaian tidak berani turun langsung, cari perantara seperti kepala desa atau camat untuk memfasilitasi penyerahan diri kalian,” ujarnya.

Jalfanir menyebutkan, jika teman-temannya turun gunung dan menyerahkan diri kepada aparat, maka mereka bias mencari cara lain untuk menyampaikan aspirasi pada Pemerintah Aceh yang dinilai belum adil terhadap mantan anggota kelompok bersenjata.

“Pemerintah adillah seluas-luasnya. Anda-anda bisa menduduki tempat itu karena masyarakat lah semuanya,” pungkasnya.(Kompas)

August 30, 2015
Dua tersangka sindikat narkoba yang diduga meneror bom warga Desa Ujong Pacu, Lhokseumawe. | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM
AMP - Bom empat kali dipasang di Desa Ujong Pacu, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, dalam dua bulan terakhir ini. Teror itu dilakukan sebagai upaya menakut-takuti warga yang gencar memerangi peredaran narkoba di sana.

Empat kali teror bom tak menyurutkan upaya masyarakat Ujong Pacu untuk memerangi serangan narkoba di kawasan itu. Ironisnya, narkoba diedarkan oleh warga desa itu juga.

Tabuhan genderang perang terhadap narkoba itu memakan korban. Setidaknya ada delapan warga Ujong Pacu yang menjadi korban dalam ledakan bom di desa itu pada 8 Agustus lalu.

Bom itu diduga kuat dipasang oleh para bandar narkoba yang terusik dengan bendera perang narkoba yang dikibarkan warga. Malah, pascaledakan bom, warga ikut merusak rumah yang diduga milik sang bandar.

Hingga saat ini, polisi baru berhasil menangkap dua pelaku peledakan bom, yaitu FN dan MH –keduanya bertugas merakit dan memasang bom. Sedangkan dua orang lainnya, MA dan MU, masih buron.

Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Husein Hamidi menyatakan, empat kali pemasangan bom di Ujong Pacu dilakukan tersangka (FN dan MH) karena merasa sakit hati terhadap warga.

“Tersangka sakit hati karena diusir masyarakat dari desa itu. Tersangka merupakan sindikat narkoba,” kata Husein Hamidi kepada wartawan di Mapolda Aceh, Jumat (28/8/2015). “Bom ini dipasang untuk menakuti warga.”

Selain menangkap dua pelaku, polisi juga menyita dua pucuk senjata laras panjang jenis AK-56 dan 193 butir peluru, satu unit pistol FN beserta enam peluru, serpihan bom rakitan, dan bom yang belum meledak. Senjata AK-56 ini disita pada Kamis, 27 Agustus 2015, di Kecamatan Plimbang dan pistol FN disita di Geurugok, Bireuen.

“Senjata AK-56 disimpan tersangka di atas pohon kelapa di belakang rumah orang tuanya,” ujar Kapolda.

Sebagai bagian dari perang terhadap narkoba, warga tak segan-segan menginterogasi orang mencurigakan. Beberapa hari lalu, seorang pendatang terpaksa digelandang ke markas polisi karena warga mencurigainya sebagai bagian dari sindikat narkoba.

Bagi masyarakat Ujong Pacu, narkoba sudah menjadi musuh bersama. Pasalnya, barang hitam jenis sabu-sabu beredar luas di kalangan generasi muda dalam beberapa tahun terakhir ini. Narkoba jenis sabu itu rata-rata dipasok dari Malaysia.

Kapolda Husein mengakui bahwa Aceh sudah menjadi daerah dengan darurat narkoba. Serbuk putih itu masuk dari Malaysia melalui sejumlah pantai Aceh. Polisi menyatakan aktif melakukan patroli laut bersama dengan otoritas lain dan nelayan.

“Narkoba jenis sabu masuk melalui perairan Aceh,” aku Kapolda.

Kasus teranyar adalah penangkapan enam kilogram sabu di kawasan Bireuen pekan lalu. Selain itu, Aceh juga memiliki potensi ladang ganja besar. Beberapa bulan lalu, bersama Badan Narkotika Nasional, polisi berhasil menggagalkan peredaran 78 kilogram sabu di kawasan Aceh Timur. Saat ini, kasus kepemilikan narkoba ini tengah disidang di Pengadilan Negeri Banda Aceh. []

ANITA itu terlihat kurus dan lesu. Matanya masih berkaca-kaca ketika portalsatu.com bertamu ke rumah milik orang tua almarhum suaminya, Junaidi alias Beurijuek, di Dusun Kilang Jaya, Desa Sidomulyo, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Jumat, 28 Agustus 2015. Sambil menggendong buah hatinya yang mungil, wanita itu hanya bisa meratapi nasibnya.

Cut Lilis Suryani, nama aslinya. Wanita yang lahir 26 tahun silam itu, kini tidak hanya menjadi ibu, tetapi juga sebagai “ayah” bagi dua buah hatinya pasca kematian suaminya, Beurijuek.

Beurijuek, menurut pihak kepolisian, merupakan anggota kelompok Din Minimi yang sudah lama masuk daftar pencarian orang (DPO) lantaran diduga terlibat sejumlah kejahatan bersenjata api. Polisi menembak Beurijuek hingga tewas di lokasi SPBU Batuphat, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, Kamis, 27 Agustus 2015, usai siang.

“Saya sedih melihat suami meninggal dengan cara seperti itu, hati saya masih terpukul. Kenapa demikian sadisnya mereka menembak suami saya,” ujar Cut Lilis.

Cut Lilis bercerita. Beurijuek sebelum meninggal sempat pulang ke rumah orang tua istrinya di Desa Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, Kamis pagi, setelah sekitar tiga bulan tidak pulang.

“Saya dan anak-anak sempat bertemu dengannya (Beurijuek) pagi. Kemudian menjelang siang, tidak sempat makan, dia pergi lagi dijemput oleh seorang temannya dengan sepeda motor,” kata Cut Lilis.

Keluarganya lantas mendapat kabar pada Kamis malam bahwa Beurijuek sudah meninggal ditembus “timah panas”. Cut Lilis pun bertanya, “Kenapa suami saya sampai ditembak langsung seperti itu. Jikapun mereka (polisi) menganggap dia bersalah, kenapa tidak dilumpuhkan sesuai aturan, melumpuhkan bagian kakinya. Tapi ini sebaliknya, mengapa harus ditembak sampai meninggal seperti itu”.

Cut Lilis tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya itu. Ia hanya bisa pasrah menerima kenyataan yang menimpa suaminya. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa atas kejadian ini, hanya doa yang bisa kami berikan untuk almarhum,” ujarnya.

“Mungkin ajalnya sudah sampai disini. Saya pun harus rela, Allah yang menentukan segalanya. Hanya saja saya sedih yang sangat mendalam atas kejadian ini,” kata Cut Lilis lagi.

Cut Lilis kini dilanda pikiran tak menentu memikirkan masa depan dua anaknya. “Pak! Anak saya dua orang, pertama umur lima tahun, dan yang kedua delapan belas bulan. Saya bingung tak tahu bagaimana cara untuk merawat mereka ke depan,” ujarnya.

 Ia mengaku tidak memiliki pekerjaan maupun rumah sejak menikah dengan Beurijuek. “Selama ini kami hanya numpang tinggal di rumah orang tua. Kadang di rumah orang tua saya, kadang di rumah mertua (orang tua suaminya),” kata Cut Lilis dengan mata berkaca-kaca.

Sama seperti mertuanya, menurut Cut Lilis, orangtuanya juga tergolong melarat. Itu sebabnya, wanita ini berharap belas kasihan untuk dua anaknya.

Ketika portalsatu.com dan wartawan lainnya pamit dari rumah duka itu, Cut Lilis kembali menghampiri. Sejurus kemudian ia berkata, “Pak! Sayang that aneuk lon, manteng ubiet tan le ayah jih. Neu tulong lon pak, keurija hana, keahlian lebeh pih lon hana”.

 “Pakiban cara lon peurayeuk aneuk meutuah nyan entrek. Lon bingong that nyoe. Neu bantu pak hai, ureeng droeneuh yang baro trok keuno jak saweu kamoe, hana ureng laen yang pat lon pegah jino le”.

Butir-butir bening menetes dari kedua mata Cut Lilis. Dan ia pun terus meratap, “Aneuk nyoe ka yatim, ureng chik jih ka meuninggai, keuneubah pih hana. Mudah-mudahan na ureng nyang bantu aneuk nyoe ukeu”.[]

PORTALSATU.COM
loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget