AMP - Namanya Abdul Halim, usianya kini
memasuki 62 tahun, tinggal di Uleekareng, Banda Aceh. Ia adalah putera
asli Papua yang lahir di Manokwari . Ayahnya bernama Pieter Bonsapia,
salah seorag pendiri OPM (Organisasi Papua Merdeka). Meski sudah lama
tinggal di Aceh, namun logat bicaranya masih sangat khas Papua
Mungkin ia menjadi satu-satunya putera Papua yang berjuang di hutan Aceh
bersama GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di masa konflik dulu. Orang-orang di
sekitarnya lebih akrab menyapanya dengan sebutan Ayah Papua. Sementara
di kalangan pejuang GAM, ia disapa dengan nama Sofyan atau Bang Yan. Dua
dari tujuh anaknya (2 perempuan 5 laki-laki), juga aktif sebagai
pejuang GAM.
Kisah Pejuang GAM Yang Berasal Dari Papua
Kini, saat Aceh mulai damai, ia memendam hasrat untuk memberi contoh
kepada keluarga dan para pejuang OPM di tanah Papua, tentang bagaimana
berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua, tanpa harus lagi
mengorbankan nyawa manusia.
Terlahir dari Keluarga Pendiri OPM
Lahir di Manokwari, tanggal 21 Juli 1950. Sebagai keluarga OPM, Abdul
Halim sudah biasa ditinggal pergi oleh ayahnya. Tahun 1974, ayahnya
hijrah ke Vanuatu, dan mulai saat itu, ayahnya kerap keluar masuk
Papua-Vanuatu melalui jalur illegal.
Abdul Halim terpaksa harus berjuang sendiri untuk meraih cita-citanya,
tanpa didampingi sosok seorang ayah. Pendidikan SMA ditempuhnya di kota
Sorong, Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke Akademi Ilmu
Pelayaran Surabaya. Namun, Halim hanya bertahan selama dua tahun. Ia
kemudian memutuskan pindah ke Institut Ilmu Pemerintah (IIP) di Jakarta.
Namun, lagi-lagi Halim hanya sanggup bertahan selama dua tahun.
“Saya baru mendapat sarjana setelah ambil persamaan di Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang,” ujarnya.
Ijazah S-1 dari Politeknik Semarang itu tidak disia-siakannya. Dengan
dasar tersebut, Halim melanjutkan kuliah untuk mengambil spesialisasi
bidang Well Control di University Austin Texas, Amerika Serikat.
Berjuang bersama GAM
Selepas dari Texas, Abdul Halim mulai bekerja di Continental Oil Company
(Conoco), sebagai tenaga bidang pengeboran minyak lepas pantai.
Pekerjaan ini lah yang mengantarnya bersentuhan dengan Aceh. Ia kemudian
ditugaskan di wilayah Aceh Timur oleh perusahaan pengeboran minyak
Mobil Oil. Di sinilah dia mulai bersentuhan dengan para aktivis Gerakan
Aceh Merdeka (GAM).
“Saat itu saya mulai tertarik dengan perjuangan mereka (GAM), tapi saya belum terlibat aktif,” ujarnya.
Baru pada tahun 1986, dia mulai mencoba-coba aktif di GAM dengan tugas
pertama sebagai petugas di bidang komunikasi (radio), sambil terus
menggeluti tugas rutinnya sebagai sebagai staf pengeboran di perusahaan
Medco, subkontraktor Mobil Oil.
“Keterlibatan saya di GAM bukan serta merta, melainkan melalui sebuah
pemikiran cukup panjang. Akhirnya saya ambil kesimpulan bergabung karena
menurut saya, ini adalah perjuangan mulia untuk mengembalikan harkat
dan martabat rakyat Aceh,” ujarnya.
Keputusannya itu membawa konsekuensi tidak ringan. Ketika Aceh
diberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, ia
terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya, demi perjuangannya bersama
GAM. Bukan hanya pekerjaan yang ia tinggalkan, tetapi juga keluarganya,
karena ia harus hijrah ke Malaysia tahun 1989 dan baru kembali menjelang
satu tahun pencabutan status DOM (1998).
Setelah status DOM dicabut, ia dan rekan-rekannya kembali aktif
membangun kekuatan di bawah komando Analfiah Julok. Sejak itu, berbagai
kisah heroik dialaminya bersama para pejuang GAM lainnya. Kondisi mereka
semakin terjepit saat pemerintah RI menetapkan status Darurat Militer
(Darmil) pada tahun 2003.
“Saat itu kami kerap keluar masuk Aceh. Kebanyakan dari kami membuat
basis di Kerinci, Jambi. Banyak dari teman-teman kami meninggal di medan
perang. Alhamdulillah, saya masih dilindungi, hingga bisa menikmati
perdamaian saat ini,” ujarnya mengenang.
Aceh dan Papua Kerangka Indonesia
Meski usianya sudah berkepala lima, bukan berarti Ayah Papua tidak lagi
punya cita-cita. Ia masih memendam sebuah hasrat untuk membagikan
perjuangan mencapai perdamaian di Aceh kepada keluarga dan para pejuang
Papua merdeka di Tanah Papua, bahwa berjuang itu tidak mutlak dengan
senjata.
Pengalamannya terlibat dalam perjuangan sayap militer GAM telah
menimbulkan banyak korban nyawa manusia. Maka betapa bersyukurnya Abdul
Halim ketika tercapai kesepakatan damai melalui MoU Helsinki tanggal 15
Agustus 2005. MoU itu berhasil menyelamatkan nyawa ribuan rakyat Aceh,
serta melahirkan sejumlah kebijakan baru untuk membangun Aceh dalam
suasana damai, penuh dengan segala penghormatan terhadap harkat dan
martabat rakyat Aceh.
“Orang-orang Aceh yang dulu terpinggirkan dan tinggal di desa-desa, kini
bisa menjadi pemimpin formal yang diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Hasil perjuangan ini juga melahirkan para pemuda kritis dan
pintar. Ini merupakan aset bagi Aceh untuk bisa berbicara lebih banyak
lagi di tingkat nasional,” ujarnya.
Suasana damai seperti inilah yang ingin ia rasakan juga di kampung
asalnya di Tanah Papua. Sudah cukup para pejuang Papua merdeka berjuang
dengan senjata. Kini saatnya mereka harus berjuang melalui jalur
politik, seperti yang dilakukan teman-temannya di Aceh.
“Saat delegasi masyarakat adat Papua dan DPR Papua berkunjung ke Aceh beberapa waktu lalu, saya menyerahkan dokumen MoU Helsinki dan UUPA. Saya bilang, generasi Papua harus banyak belajar ke Aceh, harus banyak orang Papua datang melihat Sabang. Jangan hanya melihat Mereuke saja. Mereka harus sadar bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka berdirinya Indonesia,” tegasnya.
Makanya, lanjut Halim penuh semangat, saya selalu bilang kalau mau memperbaiki Indonesia, maka perhatikan dulu Aceh dan Papua. Selama ini pemerintah hanya membangun wilayah tengah saja.
Atas dasar itu pula, saat ini Abdul Halim sedang menjajaki perdamaian di Papua melalui fasilitasi Interpeace, lembaga yang hingga kini masih mengawal perdamaian di Aceh. Halim akan mengajak para pemuda Aceh untuk menurunkan ilmunya kepada masyarakat di Papua.
“Mereka (warga Papua) harus meningkatkan harkat dan martabat bangsa Papua, tidak hanya sekedar berani mati. Kalau modal nekat, sudah dimiliki pejuang di Papua. Sekarang tinggal dikombinasikan dengan ilmu politik yang mumpuni,” katanya.
“Saat delegasi masyarakat adat Papua dan DPR Papua berkunjung ke Aceh beberapa waktu lalu, saya menyerahkan dokumen MoU Helsinki dan UUPA. Saya bilang, generasi Papua harus banyak belajar ke Aceh, harus banyak orang Papua datang melihat Sabang. Jangan hanya melihat Mereuke saja. Mereka harus sadar bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka berdirinya Indonesia,” tegasnya.
Makanya, lanjut Halim penuh semangat, saya selalu bilang kalau mau memperbaiki Indonesia, maka perhatikan dulu Aceh dan Papua. Selama ini pemerintah hanya membangun wilayah tengah saja.
Atas dasar itu pula, saat ini Abdul Halim sedang menjajaki perdamaian di Papua melalui fasilitasi Interpeace, lembaga yang hingga kini masih mengawal perdamaian di Aceh. Halim akan mengajak para pemuda Aceh untuk menurunkan ilmunya kepada masyarakat di Papua.
“Mereka (warga Papua) harus meningkatkan harkat dan martabat bangsa Papua, tidak hanya sekedar berani mati. Kalau modal nekat, sudah dimiliki pejuang di Papua. Sekarang tinggal dikombinasikan dengan ilmu politik yang mumpuni,” katanya.
Kisah Pejuang GAM Yang Berasal Dari Papua
Halim berpesan agar saudara-saudaranya di Papua tidak anti pendatang.
“Saya sudah merasakan saat bergabung dengan GAM, tidak ada perbedaan ras
dan warna kulit. Sekarang juga di PA didoktrin seperti itu, semua
penduduk ber- KTP Aceh punya kesempatan yang sama untuk berkiprah di PA.
Jadi kami para mantan kombatan, tidak pernah anti dengan pendatang.
Bahkan banyak kombatan berasal dari suku Jawa,”
tukasnya.(kompasiana.com)
Perbedaan antara Papua dan Aceh adalah, Aceh penduduknya mayoritas Muslim dan toleransi antar umat beragama sangat tinggi. semoga Papua yang mayoritas kristen dapat mencontoh toleransi rakyat Aceh dan tidak mendiskriminasi umat islam disana, semoga peristiwa Pembakaran Mesjid Ketika Idul Fitri 17 Juli 2015 tidak terulang.(ikhwanesia.com)
Perbedaan antara Papua dan Aceh adalah, Aceh penduduknya mayoritas Muslim dan toleransi antar umat beragama sangat tinggi. semoga Papua yang mayoritas kristen dapat mencontoh toleransi rakyat Aceh dan tidak mendiskriminasi umat islam disana, semoga peristiwa Pembakaran Mesjid Ketika Idul Fitri 17 Juli 2015 tidak terulang.(ikhwanesia.com)
loading...
Post a Comment