AMP - Iwan Dwiparahasto selaku Ketua Komite Nasional Penyusunan Formularium
Nasional mengatakan bahwa rata-rata perusahaan farmasi menghabiskan
duit untuk mempromosikan obatnya sebesar 40 persen dari total biaya
produksi obat tersebut.
Alih-alih untuk beriklan, biaya promosi
merupakan uang komisi penulisan resep obat. “Itu untuk membiayai dokter
jalan-jalan ke luar negeri, bertanding golf, hingga membelikan mobil,”
kata Iwan, yang juga guru besar farmakologi dari Universitas Gajah Mada.
Saat menelusuri penyebab mahalnya harga obat, ada puluhan kuitansi yang dikeluarkan sebuah produsen obat saat memberikan uang kepada para dokter. Ada juga puluhan file berformat Microsoft Excel yang berisi 2.125 nama dokter di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Surabaya, Jember, dan Makassar yang diduga menerima suap dari perusahaan itu.
Saat menelusuri penyebab mahalnya harga obat, ada puluhan kuitansi yang dikeluarkan sebuah produsen obat saat memberikan uang kepada para dokter. Ada juga puluhan file berformat Microsoft Excel yang berisi 2.125 nama dokter di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Surabaya, Jember, dan Makassar yang diduga menerima suap dari perusahaan itu.
Saat
ini ada 205 perusahaan farmasi yang memperebutkan Rp 69 triliun ceruk
pasar obat pada tahun ini. Angka itu setiap tahun meningkat. Pada 2000,
misalnya, nilai bisnis obat hanya Rp 6 triliun. Mereka bersaing dengan
cara “mendekati” dokter. “Jika dokternya punya banyak pasien, berapa
pun uang yang diminta dokter akan dipenuhi,” kata seorang mantan
petinggi perusahaan farmasi yang kini tak lagi bekerja di dunia farmasi.
Pada
salah satu kuitansi, misalnya, tercantum nama seorang dokter spesialis
penyakit dalam yang berpraktek di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Perusahaan farmasi itu menghadiahi si dokter dengan perayaan tahun
baru 2014 di Jepang. Di nota agen wisata, perjalanan tersebut bernilai
US$ 15.690 atau senilai Rp 170 juta dengan kurs pada masa itu.
Ada
lagi kuitansi pada Januari 2014 yang menyebutkan bahwa si dokter
menerima Rp 200 juta. Kuitansi itu ia stempel dan ditandatangani. Lalu,
pada Januari 2015, ia tercatat menerima Rp 500 juta. Sang dokter sempat
membantah menerima uang itu, mengaku setelah ditunjukkan kuitansi pada
2014 tersebut. Menurut dia, itu bukanlah uang suap agar ia meresepkan
produk perusahaan farmasi. “Itu uang komisi untuk apotek saya,” katanya,
Kamis tiga pekan lalu, di kliniknya.
Lalu yang menjadi perhatian HARIANACEH.co.id saat ini adalah bagaimana dengan dokter-dokter di Aceh?
Tim HARIANACEH.co.id
mencoba mendatangi salah satu apotik di Banda Aceh dan berupaya untuk
menayakan tentang 40% Harga obat yang diduga diberikan kepada dokter
yang telah mengeluarkan resep. Pihak apotik tidak berkomentar dan
menghindar saat ditanyai persoalan tersebut.[Harianaceh]
loading...
Post a Comment